Tujuan HMI telah dirumuskan menjadi lima kualitas insan cita,
yakni kualitas insan akademis, kualitas insan pencipta, kualitas insan
pengabdi, kualitas insan bernafaskan Islam, dan kualitas insan yang bertanggung
jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Dan itu
sudah di bahas di atas lalu bagaimana fakta implementasi kader terhadap 5
kualitas insan cita tersebut. Agus Salim Sitompul sudah dengan jelas menulisakan
setidaknya 44 indikator kemunduran HMI dalam bukunya. Kritik-kritik terhadap HMI pun sudah sangat banyak di
tebarkan, setidaknya-tidaknya mengerucut kepada tiga hal. Pertama, macetnya
proses reproduksi intelektual. Kedua, menipisnya kritisisme. Dan ketiga,
munculnya krisis nilai (Islam) dalam dinamika empirik organisasi.[1] Dan semua itu bermula ketika kader-kader
HMI tidak bisa mempertanggung jawabkan apa yang sudah di pilihnya, hari ini
kita bisa lihat kader-kader HMI lemah secara keilmuan sesui dengan konsentrasi
program studinya, IPK yang rendah, memang tidak bisa IPK di jadikan indikator
bahwa personal tersebut seorang yang akademis tapi jika melihat pembahasan di
atas bahwa insan akademis itu “Dia selalu berlaku dan menghadapi suasana
sekelilingnya dengan kesadaran. Sanggup
berdiri sendiri dengan lapangan ilmu pengetahuan sesuai dengan ilmu pilihannya,
baik secara teoritis maupun tekhnis dan sanggup bekerja secara ilmiah
yaitu secara bertahap, teratur, mengarah pada tujuan sesuai dengan
prinsip-prinsip
perkembangan”. Dan lagi kader HMI hari ini tidak merasa bersalah ketika
masa status mahasiswa sudah hampir kadaluarsa, hari ini yang membedakan kita dengan
manusia lain adalah pola gerak dan berfikir, jika dengan diri sendiri tidak
bersepakat bagaimana mungkin itu dapat di benarkan. Jika pada poin pertama 5
kualitas insan cita tidak terpenuhi, sudah pasti tentu untuk dapat memenuhi
kualitas insan cita yang berikutnya yaitu insan akademis pencipta, insan
akademis pencipta pengabdi, insan akademis pencipta pengabdi yang bernafaskan
islam, insan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang
diridhoi oleh Allah SWT.
Proses peralihan yang benar di tandai dengan bagaiman kita dapat
menyelami apa yang menjadi kebutuhan kita dan apa yang menjadi landasan kita,
sehingga arah dan tujuan kita jelas. Di dalam suatu organisasi, tergabung semua
kualitas manusia dengan bermacam tendensi, mulai dari yang sangat peduli hingga
acuh, bahkan ada yang bingung dan tidak punya orientasi (Disorientasi).[2]
Dan hari ini agar tidak terjadi disorientasi Tujuan HMI yang di
turunkan menjadi 5 kualitas insan cita nampaknya kita semua harus berfikir
sebagai kader HMI, tujun kah yang sudah tidak relevan atau pola perkaderan kah
yang sudah kuno, atau kita sebagai kader yang tidak berproses dengan benar, jelas
ketika ini dibiarkan akan menjadi bumerang untuk HMI sendiri,
organisasi-organisasi lain seperti KAMMI,PMII serta IMM mengunakan kelemahan
HMI hari ini untuk di jadikan manuver untuk mendapatkan kader. Sama-sama kita
sepakati jika kader-kader HMI sudah disorientasi tujuan mungkin lebih baik
mahasiswa-mahasiswa baru di arahkan ke organisasi-organisasi selain HMI, dan
Tujuan HMI tidak bisa berjalan dengan hanya berpangku tangan dan terjebak
dengan romantisme masa lalu , Tujuan HMI dapat tercapai ketika kader-kader hari
ini sadar akan misi yang di embannya yaitu manusia yang paripurna denagan 5
kualitas insan citanya.
Bagaimana
kaderisasi HMI hari ini.
Pada Pasal 8 Anggaran Dasar (Fungsi) sudah jelas bahwa “HMI berfungsi
sebagai organisasi kader”,[3]
dan telah di jelaskan kan bahwa kader adalah "sekelompok
orang yang terorganisasir secara terus menerus dan akan menjadi tulang punggung
bagi kelompok yang lebih besar". Seorang dapat di katakaan
Kader HMI adalah anggota HMI yang telah melalui proses perkaderan sehingga
memiliki ciri kader sebagaimana dikemukakan di atas dan memiliki integritas
kepribadian yang utuh : Beriman, Berilmu dan beramal, dalam proses perkaderan
hari ini adanya kader yang gagal dalam memahami apakah dia seorang kader HMI,
pada kenyataannya setelah mengikuti Maperca serta LK 1 banyak kader yang hilang
begitu saja dengan alasan yang beragam, adanya kegiatan pasca proses perkaderan
yang banyak di anggap membosankan, perlu adanya langkah-langkah yang masif
untuk mencari cara-cara agar bagaimana kader dapat tertarik dengan kegiatan
misalnya diskusi, diskusi sebagai ajang dimana kita dapat mengasah keilmuan
kita, ketika kita tetap memakai metode-metode terdahulu misalkan ketika hari
ini kader tidak tertarik dengan suasana diskusi di sekretariat pertama yang
harus kita lakukan mengikuti apa yang menjadi keinginannya, diskusi di taman,
diskusi di rumah, diskusi di cafe dan lainnya, cara-cara ini di lakukan agar
hubungan emosional kader dapat terjalin, setidaknya proses follow up kader
pasca LK 1 amat sangat krusial dimana pada titik ini kader di hadapkan
pada pilihan dan tujuan LK 1 adalah Memiliki (1)kesadaran menjalankan ajaran islam dalam kehidupan sehari‑hari,
(2)Mampu meningkatkan kemampuan akademis, (3)Memiliki kesadaran akan tanggung
jawab keumatan dan kebangsaan, (4)Memiliki Kesadaran berorganisasi,[4] dan ini akan
berbicara tentang bagaimana pengurus dari tingkat komisariat sampai pengurus
dapat lebih arif dan bijaksana karena rekrutmen kepengurusan yang atas dasar
pertimbangan kualitas bukan lebih berdasar atas politis akan mempengaruhi dalam
proses follow up kader,
minimal ada gagasan yang baru untuk mengatasi kualitas kader baik secara
keintelekualan bahkan jumlah kader hari ini . Dan masalah yang amat sangat
menghantui kader mulai dari senior sampai junior adalah suatu kenyataan yang
memprihatinkan, kesadaran kader yang sarat akan mitos dan memitoskan gemerlap
prestasi kakak-kakaknya, sehingga terjadilah “bunuh diri” di dalam
sangkar emas sejarah. Efek konservativisme ini, HMI mulai mengalami
instrumentalisasi konotasi kader, yaitu hanya sebatas wahana aktualisasi
politik.[5]
Jika di
perjelas lagi kader hari hanya di jadikan sapi perahan, di libatkan secara
langsung atas dasar politik untuk memenangkan kontestasi di dalam kampus dan
sama saja telah bergeser dari jalur bahwa kader HMI hanya di jadikan basis masa
saja bukan berfungsi sebagai organisasi kader, di tambah lagi sampai sekarang
masih di perdebatkan persoalan orientasi perkaderan antara kualitas dan
kuantitas kkaderisasi “terkesan” hanya di pahami secara sempit sebatas kegiatan
formal yaitu latihan kader yang terlalu berorientasi kuantitatif, untuk
mendapatkan jumlah anggota sebanyak-banyaknya, tanpa memacu kaderisasi secara
intensif.[6]
Pembangunan daerah suatu proses di mana pemerintah daerah dan
masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola
kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta. Proses pembangunan ini
harus[7]
jika mengutip orasi ilmiah presidium KAHMI Jawa Barat Dedi Mulyadi, bahwa
perjuangan hari ini tidak bisa di samakan dengan perjuangan HMI masa lalu dalam
seperti perjuangan angkat senjata, pergolakan pemikiran dan dedemokratisasi,
melanjutkan dari peran HMI hari ini bahwa perjuangan HMI hari ini lebih kepada
bagaimana HMI membawa arah yang lebih baik maupun mencegah dari kemunduran,
dalam konteks pembangunan daerah bagaimana HMI dapat membuat suatau daerah
menuju lebih baik bukan malah membuat menjadi lebih buruk dan ketika berbicara daerah
maka pada kesempatan ini akan membahasa bagaimana HMI khususnya HMI cabang
ciputat berpartisipasi dalam gerakan pembangunan kota Tangerang selatan karena
secara geografis HMI cabang ciputat masuk dalam wilayah Kota Tangerang Selatan.
HMI
Cabang Ciputat berdiri pada tahun 1960, bermula dari sebuah komisariat, yang
kemudian pada tahun berikutnya 1961, dijadikan sebuah Cabang. Abu Bakar yang
ditugasi menjadi Ketua Umum Komisariat pada tahun itu, pada tahun berikutnya
dipercaya juga sebagai Ketua Umum HMI Cabang Ciputat. Cabang Ciputat tampaknya
agak ganjil, lain dari yang lain. Pasalnya, Ciputat hanya merupakan sebuah
wilayah tingkat kecamatan. Alasan para pendahulu HMI Cabang Ciputat adalah
bahwa cabang ini memiliki ciri khas tersendiri, yang membedakannya dengan
Cabang-Cabang lain (Cabang Jakarta, misalnya). Karenanya, ciri khas keciputatan
ini hendaknya tetap dipertahankan bahkan urgen untuk trus dihidupkan dan
dikembangkan. HMI Cabang Ciputat kini memiliki 15 komisariat.[8]
Sebagian
kecil kader HMI Cabang Ciputat mencari alternatif melalui didirikannya berbagai
kelompok studi. Pada masa itu, tercatat kelompok studi semisal Prasasti,
Dialektika, Formaci, Respondeo, Flamboyan, dan lain-lain yang tidak terdeteksi.
Tampaknya semakin serius adanya sebuah upaya kembali ke gerakan kultural
yang sejak awalnya diemban oleh HMI.[9]
Gerakan
aksi yang menentang ketidakadilan terhadap tindakan para penguasa, baik dari
sudut politik maupun ekonomi. Fenomena ini semakin menemukan urgensinya ketika
zaman dengan penuh kesadaran kita orientasikan pada kehidupan yang berkeadilan
dan berperikemanusiaan. Sebab makna konsepsi keadilan terletak pada tindaakan,
bukan pada kata-kata.[10]
Kota
Tangerang Selatan merupakan daerah otonom yang terbentuk pada akhir tahun 2008
berdasarkan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota
Tangerang Selatan di Provinsi Banten tertanggal 26 November 2008. Surat
keputusan menteri dalam negeri RI No: 132.36-261 tahun 2011 dan di lantik oleh
gubernur banten atas nama menteri dalam negeri pada tanggal 20 april 2011 .[11]
Prinsip
desentrilalisasi dalam peyelenggaraan pemerintah daerah seperti yang akan
sedikit di bahas, memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengembangkan
potensi yang dimilikinya secara efisien dan efektif dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Terminologi dari desentrilalisasi sendiri adalah
pnyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan (otonomi) dalam sistem negara
kesatuan republik indonesia. Oleh karenanya, otonomi daerah merupakan sebuah
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Sedangkan tugas pembantuan provinsi kepada kabupaten atau
kota dan atau desa, serta dari pemerintahan kabupaten, atau kota kepada desa
untuk melaksanakan tugas tertentu dengan kewajiban melaporkan dan
mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan. (Peraturan
Pemerintah No. 7 Tahun 2008 tentang Dekosentrasi dan Tugas Pembantuan, pasal 1,
poin 11).[12]
Pembentukan
daerah otonom baru tersebut, yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Tangerang,
dilakukan dengan tujuan meningkatkan pelayanan dalam bidang pemerintahan,
pembangunan, dan kemasyarakatan serta dapat memberikan kemampuan dalam
pemanfaatan potensi daerah. Dengan 36 kecamatan luas wilayah + 1.159,05 km2 dan
jumlah penduduk lebih dari tiga juta orang, pelaksanaan pembangunan dan
pelayanan kepada masyarakat di Kabupaten Tangerang dirasakan belum sepenuhnya
terjangkau. Kondisi demikian perlu diatasi dengan memperpendek rentang kendali
pemerintahan melalui pembentukan daerah otonom baru, yaitu Kota Tangerang
Selatan, sehingga pelayanan publik dapat ditingkatkan guna mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Kota Tangerang Selatan terletak di bagian
timur Provinsi Banten yaitu pada titik koordinat 106°38’ – 106°47’ Bujur Timur
dan 06°13’30” – 06°22’30” LintangSelatan dan secara administratif terdiri dari
7 kecamatan, 49 kelurahan dan 5 desa dengan luas wilayah 147,19 Km2 atau 14.719
Ha. Batas wilayah Kota Tangerang Selatan adalah sebagai berikut:
Sebelah utara berbatasan dengan
Provinsi DKI Jakarta & Kota Tangerang
Sebelah timur berbatasan dengan
Provinsi DKI Jakarta & Kota Depok
Sebelah selatan berbatasan
dengan Kabupaten Bogor & Kota Depok
Sebelah barat berbatasan dengan
Kabupaten Tangerang
Visi Kota Tangerang Selatan
adalah : “Terwujudnya Kota Tangerang Selatan yang Mandiri, Damai dan Asri”
sedangkan Misi Kota Tangerang Selatan adalah :
1)
Meningkatkan kualitas kehidupan bermasyarakat
2)
Meningkatkan keharmonisan fungsi ruang kota yang berwawasan lingkungan
3) Menata
sistem sarana dan prasarana dasar perkotaan
4)
Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan masyarakat
5)
Meningkatkan fungsi dan peran kota sebagai sentra perdagangan dan jasa
6)
Meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih
Kota
Tangsel memiliki motto “Cerdas, Modern dan Religious”, sifat-sifat mulia yang
menjadi tantangan dan harapan semua pihak. Berharap memiliki masa depan yang
benderang mutlakmembutuhkan rancang bangun yang baik meliputi, tahapan-tahapan
terukur,setidaknya mengacu kepada konsep kehidupan yang ingin
diwujudkan:cerdas-modern-religius. Masa depan benderang dalam konteks
“Cerdas” menyangkut dunia pendidikan dengan segala aspek keterkaitannya :
infrastruktur fisik (bangunan sekolah, laboratorium, perpustakaan, dan
semacamnya), perangkat lunaknya, rancang muatan kurikulumnya, system dan
prosedur administrasi, serta kesejahteraan pegawai dan tenaga pendidiknya,
termasuk standar mutu peserta didiknya. Masa depan benderang dalam konteks
“Modern” menyangkut banyak faktor kehidupan yang satu sama lain saling terkait,
tak dapat dipungkiri bahwa pendidikan formal terstruktur dominan membentuk
perilaku manusia.Seseorang atau suatu kelompok masyarakat dapat dikatakan
modern, umumnya manakala kelompok masyarakat bersangkutan memiliki tatakrama
kehidupan “saling menghormati,beretika, dan berbudaya”, jarang terjebak dalam
konflik terbuka dan berkepanjangan. Masa depan benderang dalam konteks
“Religius” merupakan puncak kesempurnaan kehidupan, hampir dapat dipastikan
manakala sekelompok orang atau mayoritas masyarakat sebuah wilayah sudah sampai
pada fase kehidupan cerdas dan modern, maka sesungguhnya masyarakat tersebut
dapat juga dikatakan sudah masuk pada fase religius.[13]
Jika di
lihat antara tujuan HMI dan tujuan Tangerang Selatan mempunyai kesamaan
walaupun tidak menyeluruh, di sini akan mempermudah bagaimana peran serta HMI
dalam pembangunan pada dasarnya makna dari perjuangan kekinian adalah bagaimana
membuat suatu keadaan dimana dapat terus menerus berusaha melakukan berbagai
perubahan dalam masyarakat, untuk kesempurnaan kehidupan masyarakat, berbangsa
dan bernegara , kader HMI harus menjalankan sesuai fungsi sebagai
mahasiswa dan pemuda. Fungsi pemuda erat benar hubungannya dengan pertanyaan:
Apakah arti pemuda masyarakat, persoalan pemuda tidak dapat dilepaskan dari
masyarakat seperti juga persoalan universitas tidak dapat di pisahkan dari
masyarakat.[14]
Tangerang Selatan dengan masyarakatnya yang heterogen sesuai dengan cerminan
masyarakat modern, dalam kancah berpolitakan di Tangerang Selatan sudah
sepatutnya HMI berperan aktif. Sebagaimana kita ketahui, transisi sekarang
merupakan proses peralihan dari pemerintah otoriter ke demokrasi, segera
setelah rezim orde baru runtuh berbgagai persoalan sistemik dan kultural di
dalamnya menuntut untuk segera diatasi. Diantara persoalan sistemik itu adalah
penataan kembali persoalan politik, ekonomi, birokrasi pemerintahan dan sebagainya.
Bisa jadi penataan itu gagal apabila lembaga-lembaga yang ada disfungsional dan
berjalan diluar pri\nsip-prinsip demokrasi.Disinilah dibutuhkan partisipasi
masyarakat sipil (civil
society) untuk mengawal proses demokratisasi.[15]
Terhadap
persoalan tersebut HMI berada pada posisi strategis. Pergulatan panjang
organisasi ini telah sampai pada periode matang untuk mengemban tugas
perjuangan di masa transisi di tengah maraknya organisasi agama membicarakan
prularisme , sekularisasi , hubungan Islam dan Negara yang notabene telah lama
dibicarakan di HMI , sejatinya HMI mampu menyatukan gagasan dan aksi dalam
rangka konsolidasi demokrasi. Jika hal ini disadari secara simultan oleh kader
HMI , bisa dikatakan bahwa di tengah tantangan zaman itu HMI merupakan
satu-satunya pewaris sah dari perjuangan keislaman dan keIndonesiaan. Hanya
saja kesadaran itu belum membumi sehingga perjuangan tidak berkelanjutan.[16]
Potensi
yang begitu besar di HMI tidak terktulisasi dengan baik karena seringkali
tergoda oleh rayuan maut kekuasaan.[17]
Padahal sejatinya antara potensi dengan akses terhadap kekuasaaan melahirkan
suatu kekuatan baru untuk kemudian berjuang memajukan bangsa, peranan HMI
idealnya memberikan berpartisipasi dalam memberi kontrol terhadap jalannya
pemerintahan dengan skup yang jelas, jika hari ini berbicara daerah sudah
seharusnya sekelas Cabang bahkan Komisariat dapat melakukan kontrol tersebut,
tetapi dalam pola kontrol terdapat dua pola yaitu reaksioner dan visioner.
Reaksioner adalah dimana suatu masalah di tanggapi dengan aksi tapi yang salah
hari ini adalah dengan tanpa melihat substansi dasarnya, visioner di tujukan
dengan perbaikan jangka panjang setelah memahami akar persoalan. Kedua pola ini
dapat dijalankan secara efektif karena HMI merupakan organisasi akademis di
mana tindakan harus di jalankan dengan rasioanal. Dalam hal ini kader-kader HMI
dapat berpartisispasi dalam penataan birokrasi pemerintahan, mendorong
penegakan supermasi Hukum dan sebagainya.
Namun yang
terlihat hari ini di Tangerang Selatan peran HMI dalam kontrol tersebut di rasa
masih kurang terbukti dengan beberapa kasus Tindak Pidana Korupsi yang menyeret
beberapa pejabat elit yang jelas melakukan tindak pidana, Menurut Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999
Tentang Tindak Pidana Korupsi bahwa setiap orang yang
dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda
paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).[18]
Dan sebagai kader insan akademis seharusnya dapat mengontrol dan memahami regulasi
yang ada sehingga ketika ada indikasi kita dapat memberikan informasi sehingga
dapat mengurangi kerugian, korupsi sebagai extra ordinary crime harus
mendapat penangganan khusus karena dampak yang terjadi hari ini khususnya di
Tangerang Selatan adalah lambatnya pemenuhan kebutuhan publik seperti
Infrastruktur, Kesehatan, dan Pendidikan yang pada hakekatnya adalah kebutuhan
dasar masyarakat. Dimana dalam 3 sektor tersebut justru terjadi
penyalahgunaan wewenang yang berujung tindak pidana korupsi, dan berdampak pada
buruknya infrastruktur meliputi jalan-jalan utama proses pengerjaannya
terkesan asal-aslan, di sektor kesehatan kejadian yang sama adanya dugaan
markup pembeliian alat-alat kesehatan, dan pelayanan puskesmas yang sampai hari
ini jauh dari standar belum lagi peyelenggaraan pendidikan di tingkat dasar pun
mengalami pelanggaran tingginya kasus pungutan liar dan jual beli buku sampai
seragam masih marak serta pelayanan yang buruk tidak sesuai dengan UUD No 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Proses
memperkaya diri dengan jalan tidak benar adalah salah satu keinginan yang tak
terbatas sebagai hawa nafsu. Hawa nafsu cenderung kearah merugikan orang lain
(kejahatan) dan kejahatan di lakukan orang karena mengikuti hawa nafsu. “sesungguhnya nafsu
itu mendorong kepada kejahatan, kecuali yang mendapatkan rahmat dari Tuhan”
(QS. Yusuf: 53).[19]
Ketika
berbicara keadilan, siapakah yang harus menegakkaan keadilan? Sudah pasti
masyarakat. Tetapi dalam prakteknya diperlukan adanya suatu kelompok dalam
masyarakat dengan kualitas-kualitas yang dimilikinya senantiasa mengadakan
usaha-usaha menegakkan keadilan dengan jalan selalu menganjurkan sesuatu yang
bersifat kemanusiaan serta mencegah terjadinya sesuatu yang berlawanan dengan
kemanusiaan. Keberadaan suatu kelompok dalam masyarakat seperti
kader-kader HMI harusnya menjadi kontrol seperti yang sudah di bahas, namun
kenyataannya hari ini HMI khususnya Cabang Ciputat justru masuk dalam lingkaran
penguasa yang jelas-jelas tidak sejalan dengan tujuan HMI dan tujuan Tangerang
Selatan, mungkin ini di akibatkan minimnya penyerapan nilai kualitas 5 insan
cita, hari ini mulai dari kader yang masih berproses di kampus sudah tidak
menjalankan peran sebagai “problem solver dan
agent of change” justru
terjebak dalam politik kampus yang tak berujung, kemudian hal ini juga
menjangkiti kader HMI yang duduk di level pemerintahan yang seharusnya
dapat “mewujudkan
masyarakat adil makmur yang di ridhoi Allah SWT, justru ikut terpengaruh
dalam lingkaran setan sehingga tidak mengedepankan independensi etis yang
justru pada sesuatu yang hanif.
[1] Opcit.
Hal 245
[2] Andito,
Buruh Bergerak Sebuah Kontruksi Ideologi. Jakarta, trade union center, friedrich ebert stiftung, eja-creative. Hal
169
[3] Opcit.
Hal 29
[4] Opcit.
Hal 18
[5] Opcit.
Hal 279
[6] Opcit.
Hal 280
[7] Solichin,
HMI Kawah Candradimuka Mahasiswa. Sinergi Persadatama Foundation. Hal 23
[8] Opcit.
Hal 17-18
[9] Opcit.
Hal 276
[10]
Opcit. 196
[11] Airin Rahmi Diany. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ)
2011. Tangerang Selatan, Humas Protokol. 2012. Hal 3
[12] Opcit.
Hal 4
[13] Loc.cit.
hal 3
[14] Sitompul Agus Salim, Pemikiran
HMI Dan Relevansinya Dengan Sejarah Bangsa Indonesia, jakarta, Integritas
Press, 19 maret 1986. Hal 80
[15] Opcit.
Hal 259
[16] Opcit.
Hal 259
[17] Opcit.
260
[18] Suhendar,
Konsep Kerugian Keuangan Negara, Malang, Setara Press, 2015. Hal 3
[19] Pengurus
Besar HMI, NDP HMI “Nilai-Nilai Dasar
Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam”, Jakarta, Bina Insan Cita, 14 Oktober
2015. Hal 45
0 komentar:
Posting Komentar