• Latest News

    Sabtu, 03 September 2016

    MEMPERTANYAKAN PERAN SERTA HMI DALAM GERAKAN PEMBANGUNAN DAERAH.



     


    Tujuan HMI telah dirumuskan menjadi lima kualitas insan cita, yakni kualitas insan akademis, kualitas insan pencipta, kualitas insan pengabdi, kualitas insan bernafaskan Islam, dan kualitas insan yang bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Dan itu sudah di bahas di atas lalu bagaimana fakta implementasi kader terhadap 5 kualitas insan cita tersebut. Agus Salim Sitompul sudah dengan jelas menulisakan setidaknya 44 indikator kemunduran HMI dalam bukunya. Kritik-kritik terhadap HMI pun sudah sangat banyak di tebarkan, setidaknya-tidaknya mengerucut kepada tiga hal. Pertama, macetnya proses reproduksi intelektual. Kedua, menipisnya kritisisme. Dan ketiga, munculnya krisis nilai (Islam) dalam dinamika empirik organisasi.[1] Dan semua itu bermula ketika kader-kader HMI tidak bisa mempertanggung jawabkan apa yang sudah di pilihnya, hari ini kita bisa lihat kader-kader HMI lemah secara keilmuan sesui dengan konsentrasi program studinya, IPK yang rendah, memang tidak bisa IPK di jadikan indikator bahwa personal tersebut seorang yang akademis tapi jika melihat pembahasan di atas bahwa insan akademis itu “Dia selalu berlaku dan menghadapi suasana sekelilingnya  dengan kesadaran.  Sanggup berdiri sendiri dengan lapangan ilmu pengetahuan sesuai dengan ilmu pilihannya, baik secara teoritis  maupun tekhnis dan sanggup bekerja secara ilmiah yaitu secara  bertahap, teratur, mengarah pada tujuan sesuai dengan prinsip-prinsip perkembangan”. Dan lagi kader HMI hari ini tidak merasa bersalah ketika masa status mahasiswa sudah hampir kadaluarsa, hari ini yang membedakan kita dengan manusia lain adalah pola gerak dan berfikir, jika dengan diri sendiri tidak bersepakat bagaimana mungkin itu dapat di benarkan. Jika pada poin pertama 5 kualitas insan cita tidak terpenuhi, sudah pasti tentu untuk dapat memenuhi kualitas insan cita yang berikutnya yaitu  insan akademis pencipta, insan akademis pencipta pengabdi, insan akademis pencipta pengabdi yang bernafaskan islam, insan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT.

    Proses peralihan yang benar di tandai dengan bagaiman kita dapat menyelami apa yang menjadi kebutuhan kita dan apa yang menjadi landasan kita, sehingga arah dan tujuan kita jelas. Di dalam suatu organisasi, tergabung semua kualitas manusia dengan bermacam tendensi, mulai dari yang sangat peduli hingga acuh, bahkan ada yang bingung dan tidak punya orientasi (Disorientasi).[2]
    Dan hari ini agar tidak terjadi disorientasi Tujuan HMI yang di turunkan menjadi 5 kualitas insan cita nampaknya kita semua harus berfikir sebagai kader HMI, tujun kah yang sudah tidak relevan atau pola perkaderan kah yang sudah kuno, atau kita sebagai kader yang tidak berproses dengan benar,  jelas ketika ini dibiarkan akan menjadi bumerang untuk HMI sendiri, organisasi-organisasi lain seperti KAMMI,PMII serta IMM mengunakan kelemahan HMI hari ini untuk di jadikan manuver untuk mendapatkan kader. Sama-sama kita sepakati jika kader-kader HMI sudah disorientasi tujuan mungkin lebih baik mahasiswa-mahasiswa baru di arahkan ke organisasi-organisasi selain HMI, dan Tujuan HMI tidak bisa berjalan dengan hanya berpangku tangan dan terjebak dengan romantisme masa lalu , Tujuan HMI dapat tercapai ketika kader-kader hari ini sadar akan misi yang di embannya yaitu manusia yang paripurna denagan 5 kualitas insan citanya.
    Bagaimana kaderisasi HMI hari ini.
    Pada Pasal 8 Anggaran Dasar (Fungsi) sudah jelas bahwa “HMI berfungsi sebagai organisasi kader”,[3] dan telah di jelaskan kan bahwa kader adalah "sekelompok orang yang terorganisasir secara terus menerus dan akan menjadi tulang punggung bagi kelompok yang lebih besar". Seorang dapat di katakaan Kader HMI adalah anggota HMI yang telah melalui proses perkaderan sehingga memiliki ciri kader sebagaimana dikemukakan di atas dan memiliki integritas kepribadian yang utuh : Beriman, Berilmu dan beramal, dalam proses perkaderan hari ini adanya kader yang gagal dalam memahami apakah dia seorang kader HMI, pada kenyataannya setelah mengikuti Maperca serta LK 1 banyak kader yang hilang begitu saja dengan alasan yang beragam, adanya kegiatan pasca proses perkaderan yang banyak di anggap membosankan, perlu adanya langkah-langkah yang masif untuk mencari cara-cara agar bagaimana kader dapat tertarik dengan kegiatan misalnya diskusi, diskusi sebagai ajang dimana kita dapat mengasah keilmuan kita, ketika kita tetap memakai metode-metode terdahulu misalkan ketika hari ini kader tidak tertarik dengan suasana diskusi di sekretariat pertama yang harus kita lakukan mengikuti apa yang menjadi keinginannya, diskusi di taman, diskusi di rumah, diskusi di cafe dan lainnya, cara-cara ini di lakukan agar hubungan emosional kader dapat terjalin, setidaknya proses follow up kader pasca LK 1 amat sangat krusial dimana pada titik  ini kader di hadapkan pada pilihan dan tujuan LK 1 adalah Memiliki (1)kesadaran menjalankan ajaran islam dalam kehidupan sehari‑hari, (2)Mampu meningkatkan kemampuan akademis, (3)Memiliki kesadaran akan tanggung jawab keumatan dan kebangsaan, (4)Memiliki Kesadaran berorganisasi,[4] dan ini akan berbicara tentang bagaimana pengurus dari tingkat komisariat sampai pengurus dapat lebih arif dan bijaksana karena rekrutmen kepengurusan yang atas dasar pertimbangan kualitas bukan lebih berdasar atas politis akan mempengaruhi dalam proses follow up kader, minimal ada gagasan yang baru untuk mengatasi kualitas kader baik secara keintelekualan bahkan jumlah kader hari ini . Dan masalah yang amat sangat menghantui kader mulai dari senior sampai junior adalah suatu kenyataan yang memprihatinkan, kesadaran kader yang sarat akan mitos dan memitoskan gemerlap prestasi kakak-kakaknya, sehingga terjadilah  “bunuh diri” di dalam sangkar emas sejarah. Efek konservativisme ini, HMI mulai mengalami instrumentalisasi konotasi kader, yaitu hanya sebatas wahana aktualisasi politik.[5]
    Jika di perjelas lagi kader hari hanya di jadikan sapi perahan, di libatkan  secara langsung atas dasar politik untuk memenangkan kontestasi di dalam kampus dan sama saja telah bergeser dari jalur bahwa kader HMI hanya di jadikan basis masa saja bukan berfungsi sebagai organisasi kader, di tambah lagi sampai sekarang masih di perdebatkan persoalan orientasi perkaderan antara kualitas dan kuantitas kkaderisasi “terkesan” hanya di pahami secara sempit sebatas kegiatan formal yaitu latihan kader yang terlalu berorientasi kuantitatif, untuk mendapatkan jumlah anggota sebanyak-banyaknya, tanpa memacu kaderisasi secara intensif.[6]
    Pembangunan daerah suatu proses di mana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta. Proses pembangunan ini harus[7] jika mengutip orasi ilmiah  presidium KAHMI Jawa Barat Dedi Mulyadi, bahwa perjuangan hari ini tidak bisa di samakan dengan perjuangan HMI masa lalu dalam seperti perjuangan angkat senjata, pergolakan pemikiran dan  dedemokratisasi, melanjutkan dari peran HMI hari ini bahwa perjuangan HMI hari ini lebih kepada bagaimana HMI membawa arah yang lebih baik maupun mencegah dari kemunduran, dalam konteks pembangunan daerah bagaimana HMI dapat membuat suatau daerah menuju lebih baik bukan malah membuat menjadi lebih buruk dan ketika berbicara daerah maka pada kesempatan ini akan membahasa bagaimana HMI khususnya HMI cabang ciputat berpartisipasi dalam gerakan pembangunan kota Tangerang selatan karena secara geografis HMI cabang ciputat masuk dalam wilayah Kota Tangerang Selatan.
    HMI Cabang Ciputat berdiri pada tahun 1960, bermula dari sebuah komisariat, yang kemudian pada tahun berikutnya 1961, dijadikan sebuah Cabang. Abu Bakar yang ditugasi menjadi Ketua Umum Komisariat pada tahun itu, pada tahun berikutnya dipercaya juga sebagai Ketua Umum HMI Cabang Ciputat. Cabang Ciputat tampaknya agak ganjil, lain dari yang lain. Pasalnya, Ciputat hanya merupakan sebuah wilayah tingkat kecamatan. Alasan para pendahulu HMI Cabang Ciputat adalah bahwa cabang ini memiliki ciri khas tersendiri, yang membedakannya dengan Cabang-Cabang lain (Cabang Jakarta, misalnya). Karenanya, ciri khas keciputatan ini hendaknya tetap dipertahankan bahkan urgen untuk trus dihidupkan dan dikembangkan. HMI Cabang Ciputat kini memiliki 15 komisariat.[8]
    Sebagian kecil kader HMI Cabang Ciputat mencari alternatif melalui didirikannya berbagai kelompok studi. Pada masa itu, tercatat kelompok studi semisal Prasasti, Dialektika, Formaci, Respondeo, Flamboyan, dan lain-lain yang tidak terdeteksi.  Tampaknya semakin serius adanya sebuah upaya kembali ke gerakan kultural yang sejak awalnya diemban oleh HMI.[9]
    Gerakan aksi yang menentang ketidakadilan terhadap tindakan para penguasa, baik dari sudut politik maupun ekonomi. Fenomena ini semakin menemukan urgensinya ketika zaman dengan penuh kesadaran kita orientasikan pada kehidupan yang berkeadilan dan berperikemanusiaan. Sebab makna konsepsi keadilan terletak pada tindaakan, bukan pada kata-kata.[10]
    Kota Tangerang Selatan merupakan daerah otonom yang terbentuk pada akhir tahun 2008 berdasarkan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan di Provinsi Banten tertanggal 26 November 2008. Surat keputusan menteri dalam negeri RI No: 132.36-261 tahun 2011 dan di lantik oleh gubernur banten atas nama menteri dalam negeri pada tanggal 20 april 2011 .[11]
    Prinsip desentrilalisasi dalam peyelenggaraan pemerintah daerah seperti yang akan sedikit di bahas, memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya secara efisien dan efektif dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terminologi dari desentrilalisasi sendiri adalah pnyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan (otonomi) dalam sistem negara kesatuan republik indonesia. Oleh karenanya, otonomi daerah merupakan sebuah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan tugas pembantuan provinsi kepada kabupaten atau kota dan atau desa, serta dari pemerintahan kabupaten, atau kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan. (Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2008 tentang Dekosentrasi dan Tugas Pembantuan, pasal 1, poin 11).[12]
    Pembentukan daerah otonom baru tersebut, yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Tangerang, dilakukan dengan tujuan meningkatkan pelayanan dalam bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta dapat memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah. Dengan 36 kecamatan luas wilayah + 1.159,05 km2 dan jumlah penduduk lebih dari tiga juta orang, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat di Kabupaten Tangerang dirasakan belum sepenuhnya terjangkau. Kondisi demikian perlu diatasi dengan memperpendek rentang kendali pemerintahan melalui pembentukan daerah otonom baru, yaitu Kota Tangerang Selatan, sehingga pelayanan publik dapat ditingkatkan guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Kota Tangerang Selatan terletak di bagian timur Provinsi Banten yaitu pada titik koordinat 106°38’ – 106°47’ Bujur Timur dan 06°13’30” – 06°22’30” LintangSelatan dan secara administratif terdiri dari 7 kecamatan, 49 kelurahan dan 5 desa dengan luas wilayah 147,19 Km2 atau 14.719 Ha.  Batas wilayah Kota Tangerang Selatan adalah sebagai berikut:
    Sebelah utara berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta & Kota Tangerang
    Sebelah timur berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta & Kota Depok
    Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor & Kota Depok
    Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tangerang
    Visi Kota Tangerang Selatan adalah : “Terwujudnya Kota Tangerang Selatan yang Mandiri, Damai dan Asri”  sedangkan Misi Kota Tangerang Selatan adalah :
    1)    Meningkatkan kualitas kehidupan bermasyarakat
    2)   Meningkatkan keharmonisan fungsi ruang kota yang berwawasan lingkungan
    3)    Menata sistem sarana dan prasarana dasar perkotaan
    4)    Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan masyarakat
    5)    Meningkatkan fungsi dan peran kota sebagai sentra perdagangan dan jasa
    6)    Meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih
    Kota Tangsel memiliki motto “Cerdas, Modern dan Religious”, sifat-sifat mulia yang menjadi tantangan dan harapan semua pihak. Berharap memiliki masa depan yang benderang mutlakmembutuhkan rancang bangun yang baik meliputi, tahapan-tahapan terukur,setidaknya mengacu kepada konsep kehidupan yang ingin diwujudkan:cerdas-modern-religius. Masa depan benderang  dalam konteks “Cerdas” menyangkut dunia pendidikan dengan segala aspek keterkaitannya : infrastruktur fisik (bangunan sekolah, laboratorium, perpustakaan, dan semacamnya), perangkat lunaknya, rancang muatan kurikulumnya, system dan prosedur administrasi, serta kesejahteraan pegawai dan tenaga pendidiknya, termasuk standar mutu peserta didiknya. Masa depan benderang dalam konteks “Modern” menyangkut banyak faktor kehidupan yang satu sama lain saling terkait, tak dapat dipungkiri bahwa pendidikan formal terstruktur dominan membentuk perilaku manusia.Seseorang atau suatu kelompok masyarakat dapat dikatakan modern, umumnya manakala kelompok masyarakat bersangkutan memiliki tatakrama kehidupan “saling menghormati,beretika, dan berbudaya”, jarang terjebak dalam konflik terbuka dan berkepanjangan. Masa depan benderang dalam konteks “Religius” merupakan puncak kesempurnaan kehidupan, hampir dapat dipastikan manakala sekelompok orang atau mayoritas masyarakat sebuah wilayah sudah sampai pada fase kehidupan cerdas dan modern, maka sesungguhnya masyarakat tersebut dapat juga dikatakan sudah masuk pada fase religius.[13]
    Jika di lihat antara tujuan HMI dan tujuan Tangerang Selatan mempunyai kesamaan walaupun tidak menyeluruh, di sini akan mempermudah bagaimana peran serta HMI dalam pembangunan pada dasarnya makna dari perjuangan kekinian adalah bagaimana membuat suatu keadaan dimana dapat terus menerus berusaha melakukan berbagai perubahan dalam masyarakat, untuk kesempurnaan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara , kader HMI harus menjalankan sesuai fungsi  sebagai mahasiswa dan pemuda. Fungsi pemuda erat benar hubungannya dengan pertanyaan: Apakah arti pemuda masyarakat, persoalan pemuda tidak dapat dilepaskan dari masyarakat seperti juga persoalan universitas tidak dapat di pisahkan dari masyarakat.[14] Tangerang Selatan dengan masyarakatnya yang heterogen sesuai dengan cerminan masyarakat modern, dalam kancah berpolitakan di Tangerang Selatan sudah sepatutnya HMI berperan aktif. Sebagaimana kita ketahui, transisi sekarang merupakan proses peralihan dari pemerintah otoriter ke demokrasi, segera setelah rezim orde baru runtuh berbgagai persoalan sistemik dan kultural di dalamnya menuntut untuk segera diatasi. Diantara persoalan sistemik itu adalah penataan kembali persoalan politik, ekonomi, birokrasi pemerintahan dan sebagainya. Bisa jadi penataan itu gagal apabila lembaga-lembaga yang ada disfungsional dan berjalan diluar pri\nsip-prinsip demokrasi.Disinilah dibutuhkan partisipasi masyarakat sipil (civil society) untuk mengawal proses demokratisasi.[15]
    Terhadap persoalan tersebut HMI berada pada posisi strategis. Pergulatan panjang organisasi ini telah sampai pada periode matang untuk mengemban tugas perjuangan di masa transisi di tengah maraknya organisasi agama membicarakan prularisme , sekularisasi , hubungan Islam dan Negara yang notabene telah lama dibicarakan di HMI , sejatinya HMI mampu menyatukan gagasan dan aksi dalam rangka konsolidasi demokrasi. Jika hal ini disadari secara simultan oleh kader HMI , bisa dikatakan bahwa di tengah tantangan zaman itu HMI merupakan satu-satunya pewaris sah dari perjuangan keislaman dan keIndonesiaan. Hanya saja kesadaran itu belum membumi sehingga perjuangan tidak berkelanjutan.[16]
    Potensi yang begitu besar di HMI tidak terktulisasi dengan baik karena seringkali tergoda oleh rayuan maut kekuasaan.[17] Padahal sejatinya antara potensi dengan akses terhadap kekuasaaan melahirkan suatu kekuatan baru untuk kemudian berjuang memajukan bangsa, peranan HMI idealnya memberikan berpartisipasi dalam memberi kontrol terhadap jalannya pemerintahan dengan skup yang jelas, jika hari ini berbicara daerah sudah seharusnya sekelas Cabang bahkan Komisariat dapat melakukan kontrol tersebut, tetapi dalam pola kontrol terdapat dua pola yaitu reaksioner dan visioner. Reaksioner adalah dimana suatu masalah di tanggapi dengan aksi tapi yang salah hari ini adalah dengan tanpa melihat substansi dasarnya, visioner di tujukan dengan perbaikan jangka panjang setelah memahami akar persoalan. Kedua pola ini dapat dijalankan secara efektif karena HMI merupakan organisasi akademis di mana tindakan harus di jalankan dengan rasioanal. Dalam hal ini kader-kader HMI dapat berpartisispasi dalam penataan birokrasi pemerintahan, mendorong penegakan supermasi Hukum dan sebagainya.
    Namun yang terlihat hari ini di Tangerang Selatan peran HMI dalam kontrol tersebut di rasa masih kurang terbukti dengan beberapa kasus Tindak Pidana Korupsi yang menyeret beberapa pejabat elit yang jelas melakukan tindak pidana, Menurut Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).[18] Dan sebagai kader insan akademis seharusnya dapat mengontrol dan memahami regulasi yang ada sehingga ketika ada indikasi kita dapat memberikan informasi sehingga dapat mengurangi kerugian, korupsi sebagai extra ordinary crime harus mendapat penangganan khusus karena dampak yang terjadi hari ini khususnya di Tangerang Selatan adalah lambatnya pemenuhan kebutuhan publik seperti Infrastruktur, Kesehatan, dan Pendidikan yang pada hakekatnya adalah kebutuhan dasar  masyarakat. Dimana dalam 3 sektor tersebut justru terjadi penyalahgunaan wewenang yang berujung tindak pidana korupsi, dan berdampak pada buruknya infrastruktur meliputi jalan-jalan utama proses pengerjaannya  terkesan asal-aslan, di sektor kesehatan kejadian yang sama adanya dugaan markup pembeliian alat-alat kesehatan, dan pelayanan puskesmas yang sampai hari ini jauh dari standar belum lagi peyelenggaraan pendidikan di tingkat dasar pun mengalami pelanggaran tingginya kasus pungutan liar dan jual beli buku sampai seragam masih marak serta pelayanan yang buruk tidak sesuai dengan UUD No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
    Proses memperkaya diri dengan jalan tidak benar adalah salah satu keinginan yang tak terbatas sebagai hawa nafsu. Hawa nafsu cenderung kearah merugikan orang lain (kejahatan) dan kejahatan di lakukan orang karena mengikuti hawa nafsu. “sesungguhnya nafsu itu mendorong kepada kejahatan, kecuali yang mendapatkan rahmat dari Tuhan” (QS. Yusuf: 53).[19]
    Ketika berbicara keadilan, siapakah yang harus menegakkaan keadilan? Sudah pasti masyarakat. Tetapi dalam prakteknya diperlukan adanya suatu kelompok dalam masyarakat dengan kualitas-kualitas yang dimilikinya senantiasa mengadakan usaha-usaha menegakkan keadilan dengan jalan selalu menganjurkan sesuatu yang bersifat kemanusiaan serta mencegah terjadinya sesuatu yang berlawanan dengan kemanusiaan.  Keberadaan suatu kelompok dalam masyarakat seperti kader-kader HMI harusnya menjadi kontrol seperti yang sudah di bahas, namun kenyataannya hari ini HMI khususnya Cabang Ciputat justru masuk dalam lingkaran penguasa yang jelas-jelas tidak sejalan dengan tujuan HMI dan tujuan Tangerang Selatan, mungkin ini di akibatkan minimnya penyerapan nilai kualitas 5 insan cita, hari ini mulai dari kader yang masih berproses di kampus sudah tidak menjalankan peran sebagai “problem solver dan agent of change” justru terjebak dalam politik kampus yang tak berujung, kemudian hal ini juga menjangkiti kader HMI yang duduk di level pemerintahan  yang seharusnya dapat “mewujudkan masyarakat adil makmur yang di ridhoi Allah SWT, justru ikut terpengaruh dalam lingkaran setan sehingga tidak mengedepankan independensi etis yang justru pada sesuatu yang hanif.




    [1] Opcit. Hal 245

    [2] Andito, Buruh Bergerak Sebuah Kontruksi Ideologi. Jakarta, trade union center,   friedrich ebert stiftung, eja-creative. Hal 169

    [3] Opcit. Hal 29

    [4] Opcit. Hal 18

    [5] Opcit. Hal 279

    [6] Opcit. Hal 280

    [7] Solichin, HMI Kawah Candradimuka Mahasiswa. Sinergi Persadatama Foundation. Hal 23


    [8] Opcit. Hal 17-18

    [9] Opcit. Hal 276

    [10] Opcit.  196

    [11] Airin Rahmi Diany.  Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) 2011. Tangerang Selatan, Humas Protokol. 2012. Hal 3


    [12] Opcit. Hal 4

    [13] Loc.cit. hal 3

    [14] Sitompul Agus Salim, Pemikiran HMI Dan Relevansinya Dengan Sejarah Bangsa Indonesia, jakarta, Integritas Press, 19 maret 1986. Hal 80

    [15] Opcit. Hal 259

    [16] Opcit. Hal 259

    [17] Opcit. 260

    [18] Suhendar, Konsep Kerugian Keuangan Negara, Malang, Setara Press, 2015. Hal 3


    [19] Pengurus Besar HMI, NDP HMI “Nilai-Nilai Dasar Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam”, Jakarta, Bina Insan Cita, 14 Oktober 2015. Hal 45


    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Item Reviewed: MEMPERTANYAKAN PERAN SERTA HMI DALAM GERAKAN PEMBANGUNAN DAERAH. Rating: 5 Reviewed By: hmikomfaktek.com
    Scroll to Top