Oleh :
Eva Nurcahyani
Kader HMI
Komisariat Pamulang Cabang Ciputat
Marsinah.
Lahir dan tumbuh di desa Nglundo sukomoro, tanggal 10 April 1969 dan wafat pada
tanggal 08 Mei 1993 pada usia 20 tahun. Marsinah berasal dari kalangan buruh
tani yang kemudian dipaksa mencari pekerjaan di kota, sampai pada akhirnya ia
memperoleh pekerjaan sebagai buruh di sebuah pabrik arloji, yaitu PT. Catur
Putra Surya Porong-Sidoarjo. Sosoknya yang selalu dikenang oleh kaum buruh
terutama buruh perempuan dan aktivis-aktivis perempuan karena kematiannya yang
tragis disaat melakukan protes terhadap perusahaan tempatnya bekerja. Setelah
menghilang selama tiga hari, tubuhnya ditemukan tak bernyawa dihutan dusun Jegong,
Kecamatan Wilangan, Nganjuk. Sampai saat ini kasus Marsinah masih belum
menemukan kejelasan tentang siapa yang sebenarnya bertanggung jawab, dimana
kasus ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh Internasional) dan dikenal
sebagai kasus 1713.
Jika
kita diposisikan sebagai buruh perempuan di masa orde baru kita akan menghadapi
penindasan dari dua sisi, diantaranya penindasan sebagai buruh dan sebagai
perempuan. Di satu sisi, gerakan untuk melakukan kolektif dalam serikat buruh
dibatasi oleh pemerintah dan kegiatan untuk memberikan tuntutan secara kolektif
oleh serikat buruh seperti unjuk rasa, mogok kerja dan aksi massa lainnya
dianggap sebagai kegiatan yang menjadi sandungan untuk melanggengkan kekuasaan
rezim orde baru dan program-program yang ingin dijalankan rezim. Sebagai
perempuan, kita juga mengalami penindasan berdasarkan gender. Dalam kondisi
inilah Marsinah, seorang buruh perempuan yang berjuang, demi memperjuangkan
kenaikan gaji dari Rp. 1.700 perhari menjadi Rp.2.250 perhari yang sejatinya
adalah imbauan dari gubernur Jawa Timur untuk menaikan gaji pokok sebanyak 20%.
Marsinah bersama dengan 18 buruh lain, merencanakan perundingan dan Marsinah
berada pada garis depan untuk memimpin ratusan buruh yang melakukan
demonstrasi.
Dalam
usaha untuk mencapai tuntutannya, Marsinah dan para buruh PT CPS melakukan
unjuk rasa dan pemogokan kerja sebagai pendorong daya tawar mereka untuk berunding
dengan pihak perusahaan. Marsinah dan buruh yang lain meyakini selama mereka
tidak melumpuhkan sektor produksi perusahaan dengan tidak memberikan tenaga
mereka, perusahaan tidak akan menghiraukan keinginan mereka untuk berunding,
terlebih ketika aparat penegak hukum sangat berpihak kepada para pemilik modal.
Tuntutan merekapun diperkuat dengan riset upah minimum disekitar daerah
Sidoarjo untuk menciptakan legitimasi kenaikan upah yang mereka tuntut. Represi
dihadapi oleh Marsinah dan rekan-rekannya dari berbagai pihak, baik dari pihak
perusahaan sendiri maupun dari pihak Komando Distrik Militer (Kodim) setempat.
Walaupun demikian, Marsinah dan buruh lainnya akhirnya berhasil membawa pihak
perusahaan ke meja perundingan dan berhasil memenuhi tuntutan kenaikan upah
pokok yang mereka perjuangkan. Terlebih lagi, beragam tuntutan untuk
memperbaiki standar kerja seperti; cuti haid, cuti hamil, dan upah lembur juga
dijanjikan dan dibicarakan kembali nanti. Dan saat itupun sejatinya perjuangan
buruh PT. CPS sudah usai, dan sudah kembali bekerja setelah melakukan unjuk
rasa dan mogok kerja.
Namun
ternyata perjuangan belum usai, Marsinah dan buruh sejumlah tigabelas buruh
PT.CPS harus berurusan dengan kodim Sidoarjo dan memaksa mereka untuk menerima
PHK. Hal ini sejatinya tidak sesuai dengan perundingan yag telah dilakukan dengan
pihak perusahaan. Marsinah sendiri bukanlah satu dari tigabelas buruh yang
dipanggil oleh kodim, tetapi Marsinah adalah salah satu yang menghampiri kodim
untuk melihat keadaan temannya. Saat itu ternyata salah satu teman mereka yang
sedang di siksa oleh aparat kodim. Berbekal surat pemanggilan kodim dan surat
pernyataan oleh perusahaan pada saat perundingan Marsinah berencana kembali
untuk melakukan advokasi untuk keadilan bagi rekan-rekan buruhnya. Penulis
rasa, apa yang Marsinah lakukan saat itu ia pun sadari sangat mengancam keadaan
dan keselamatannya. Akan tetapi Marsinah tetap memilih unuk berjuang karena
solidaritas yang dianggap menjadi nilai utama dalam gerakan buruh. Perjuangan
buruh tidak dapat terjadi ketika buruh hanya mementingkan kepentingannya
sebagai individu diatas kepentingan kolektif. Mengabaikan ketidakadilan yang
dialami rekannya saat itu akan membuat pergerakan buruh kehilangan prinsip
solidaritas yang menyatukan mereka melawan penindasan yang mereka alami.
Akan
tetapi, perjuangan Marsinah harus dibayar dengan nyawa. Marsinah menghilang dan
ditemukan tewas, pembunuh Marsinah sendiri sampai sekarang belum diketahui.
Proses pengadilan yang menjadi isu nasional pun penuh dengan kejanggalan.
Penangkapan yang dilakukan dianggap cacat hukum dan interogasi yang dilakukan
terhadap petinggi PT. CPS dan komandan rayon militer dilakukan dengan
pemaksaan, baju Marsinah yang menjadi barang bukti dibakar oleh pihak rumah
sakit. Saksi yang menemukan jasad Marsinah tidak didatangkan ketika persidangan.
Terdakwa yang kemudian divonis bersalah, akhirnya semua bebas tanpa syarat di
Mahkamah Agung. Yang berarti pada dasarnya secara hukum bukti masih belum
berhasil menunjukan bahwa mereka adalah pelaku pembunuhan tersebut.
Sudah
25 tahun sejak pembunuhan Marsinah, yang berarti kasus ini sudah kadaluarsa
menurut hukum. Seandainya kasus ini
dibuka kembalipun, ingatan mengenai kejadian itu perlahan mulai pupus terkikis
oleh waktu. Barang bukti sudah nyaris mustahil untuk ditemukan jejaknya setelah
begitu lama waktu berlalu, keadilan dan kebenaran mungkin tidak akan kita
dapatkan. Namun hal itu, bukan berarti semangat Marsinah sudah tidak relevan
untuk kita bawa dalam perjuangan buruh saat ini.
MARSINAH HARI INI. Tantangan
yang dialami hari ini, meski berbeda dengan yang dialami pada masa orde baru,
namun memiliki pola yang mirip. Pemerintah yang menguasai instrumen kekerasan
seperti wewenangan untuk memberikan dan membubarkan unjuk rasa, menggusur warga
demi pembangunan infrastruktur dan mengintimidasi aktivis dengan ancaman
kriminalisasi demi kepentingan pemillik modal menjadi halangan untuk buruh
menyuarakan tuntutannya.
Pelajaran
yang bisa kita ambil dari peristiwa dan perjuangan Marsinah ini yaitu kondisi
kerja dan pengupahan yang layak tidak akan diberikan secara cuma-cuma oleh
pemilik modal dan pemerintah. Lebih tepatnya, harga untuk sebuah hidup yang
lebih baik dalam ruang kerja sangatlah mahal. Kesejahteraan dan kesetaraan itu
hanya bisa muncul ketika kita memperjuangkan hal tersebut dengan segala daya
tawar yang kita punya. Pemilik modal yang hanya peduli dengan keuntungan yang
didapat dan dinikmati tidak akan mau berhenti menganggap buruh perempuan
sebagai buruh yang tidak berharga hanya karena mereka dapat hamil, tidak peduli
apakah mereka buruh-buruh perempuan yang dapat memberikan ASI Ekslusif kepada
anaknya. Yang disebut buruh disini adalah mereka yang bekerja pada usaha
perorangan ataupun kolektif dan diberikan imbalan secara harian maupun borongan
sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak, baik lisan maupun tertulis. Apabila
nasib buruh-buruh magang atau buruh disektor informal yang nyaris tak memiliki
perlindungan hukum, kecuali buruh perempuan menuntut dan melawan pemilik modal
untuk menghentikan perilaku diskriminatif tersebut.
Pelajaran
lain yang bisa kita ambil dari peristiwa Marsinah adalah bagaimana solidaritas
buruh seharusnya memperjuangan kesejahteraan dan kesetaraan bagi kaum tertindas
khususnya perempuan. Menyalakan obor Marsinah berarti mengingat dan terus
mempraktekan semangat Marsinah untuk bersolidaritas memperjuangkan keadilan
ditengah penindasan para buruh. Marsinah adalah perjuangan individual dan koleketif
yang terus berdialog ia sebagai buruh dibawah cengkraman besi kapital bersama
rekan-rekannya, dan sebagai perempuan. Sebuah semangat untuk membawa paket
kesejahteraan dan kesetaraan di meja perjuangan yang sama, semangat yang akan
terus menyala dan menolak padam.
Marsinah
Matimu tak sia-sia!
Panjang
Umur Perlawanan!
Panjang
Umur Perjuangan!
0 komentar:
Posting Komentar