Oleh : Septian Haditama
(Mahasiswa Unpam & Pemuda Muhammadiyah Depok)
"Dinamika intelektual dapat diukur dari ada atau tidaknya perdebatan
keesejarahan, sebab perdebatan kesejarahan sebenarnya tidak lain dari
pada pantulan dari usaha untuk sekali-kali melihat dan memahami diri
kembali"
Penulis sadar
perdebatan soal pancasila dalam hal ini tidak penting untuk dilanjutkan
kembali kepada generasi yang hidup saat ini tetapi dalam konteks
pembahasan ideologi suatu negara dewasa ini selalu menuai polemik atas
suatu penafsiran tentang hakekat dasar tentang arti yang sebenarnya dari
PANCASILA, banyak intepretasi yang di hasilkan dari proses refleksi
suatu pemikiran yang akhirnya mempengaruhi suatu pandangan hidup
seseorang yang tak terlepas dari keberpihakan suatu faham (tendensi
ideologi) yang di anutnya dan pada akhirnya menjadi pedoman dan pegangan
bagi seorang untuk melangkah dan bertindak.
Sejak
awal pembentukan negara kesatuan republik indonesia konflik
pertentangan ideologi sudah tampak jelas jika kita baca sejarah
pergerakan nasional perjuangan merebut kemerdekaan indonesia dan upaya
untuk mempertahankan kemerdekaan, konflik pertentangan perbedaan
pendapat tentang landasan suatu weltanschauung (pandanga n
hidup) Suatu negara di wakili dari setiap kelompok organisasi
kepentingan masyarakat dan partai politik yang menggunakan macam-macam
ideologi seperti halnya yang sangat tampak pada saat pelaksanaan sidang
badan persiapan usaha kemerdekaan republik indonesia (BPUPKI) dimana
perbedaan pendapat tentang pembentukan awal negara selalu di
pertentangkan dari kelolompok nasionalis dan agamis (baca: risalah sidang bpupki).
Setelah
bangsa indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada agustus 1945,
perdebatan tentang bentuk dan dasar negara indonesia masih senantiasa
berlangsung seperti perdebatan dalam sidang BPUPKI dan PPKI (28 mei 1945
- 22 agustus 1945) antara kelompok nasionalis islam dan nasionalis
sekuler, perdebatan ini semakin meruncing setelah tanggal 18 agustus
1945 panitia persiapan kemerdekaan indonesia (PPKI) menghapus tujuh kata
dalam piagam jakarta menjadi ketuhanan yang maha esa dengan kewajiban
menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Ketuhanan
Yang Maha Esa mengandung arti bahwa meskipun indonesia bukan negara
agama, tetapi agama merupakan nilai luhur yang dijunjung tinggi dalam
penyelenggaraan negara. Penduduk yang beragama tentu memiliki ajaran
luhur yang menjadikan pemeluknya selalu berada dalam kebaikan dan
kebenaran selama mengikuti ajaran agamanya. Indonesia bukanlah negara
sekuler yang tidak mengakui agama dalam pemerintahannya, dan bukan
negara agama yang menjadikan agama mayoritas sebagai agama negara.
Melainkan, sebagai negara berketuhanan Yang Maha Esa yang mengakui agama
sebagai spirit dalam penyelenggaraan negara.
Ali
Syahbana dalam tulisannya mengatakan bahwa ketika kita melihat sejarah,
Pancasila tidak hanya dirumuskan oleh tokoh nasional saja. Ada tokoh
ulama yang ikut serta dalam proses penyusunan dasar negara tersebut,
seperti KH. Wahid Hasyim, H. Agus salim, M. Yamin, kahar muzakar dan
banyak dari kalangan NU maupun ulama lain dari kalangan Muhammadiyah.
Kehadiran para tokoh ulama tersebut tentunya mewarnai dan berdampak pada
rumusan Pancasila yang Islami, yaitu Pancasila yang menampakkan
ke-rahmatan lil ‘alamin ajaran Islam, bukan Pancasila yang jauh dari dan
sepi dari nilai-nilai keislaman.
Selain
hal-hal di atas, hubungan Pancasila dengan ajaran Islam juga tercermin
dari kelima silanya yang selaras dengan ajaran Islam. Keselarasan
masing-masing sila dengan ajaran Islam, yaitu:
1.
Sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa bermakna bahwa
bangsa Indonesia berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Warga negara Indonesia
diberikan kebebasan untuk memilih satu kepercayaan, dari beberapa
kepercayaan yang diakui oleh negara. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai
dengan istilah hablun min Allah, yang merupakan sendi tauhid dan
pengejawantahan hubungan antara manusia dengan Allah SWT. Al-Qur’an
dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya
untuk selalu mengesakan Tuhan.[1] Di antaranya adalah yang tercermin di
dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 163.
وإلهكم إله واحد لا إله إلا هو الرحمن الرحيم
Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.(QS. 2:163)
Dalam
kacamata Islam, Tuhan adalah Allah semata, namun dalam pandangan agama
lain Tuhan adalah yang mengatur kehidupan manusia yang disembah.
2.
Sila kedua yang berbunyi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab bermakna
bahwa bangsa Indonesia menghargai dan menghormati hak-hak yang melekat
pada pribadi manusia. Dalam konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah
hablun min al-nas, yakni hubungan antara sesama manusia berdasarkan
sikap saling menghormati. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan
dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu menghormati dan
menghargai sesama. Di antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an
Surat Al-Maidah ayat 8-9.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ
بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا
اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (8) وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ (9)
Hai
orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS.Al-Maidah 5:8)
Secara
luas dan menyeluruh, Allah memerintahkan kepada orang orang yang
beriman, supaya berlaku adil, karena keadilan dibutuhkan dalam segala
hal, untuk mencapai dan memperoleh ketenteraman, kemakmuran dan
kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu berlaku adil adalah jalan
yang terdekat untuk mencapai tujuan bertakwa kepada Allah.
3.
Sila ketiga berbunyi Persatuan Indonesia bermakna bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa yang satu dan bangsa yang menegara. Dalam konsep
Islam, hal ini sesuai dengan istilah ukhuwah Islamiah(persatuan sesama
umat Islam) dan ukhuwah Insaniah (persatuan sesama umat manusia).[3]
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan
kepada umatnya untuk selalu menjaga persatuan. Di antaranya adalah yang
tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron ayat 103.
واَعْتصِمُواْ
بِحَبْلِ الله جَمِيْعًا وَلاَ تَفَـرَّقوُا وَاذْ كـُرُو نِعْمَتَ الله
عَلَيْكُمْ إٍذْكُنْتُمْ أَعْـدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلـُوبِكُمْ
فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً وَكُنْتُمْ عَلىَ شَفاَ خُـفْرَةٍ
مِنَ النَّاِر فَأَنْقـَدَكُمْ مِنْهَا كَذَالِكَ يُبَبِّنُ اللهُ لَكُمْ
اَيَاتِهِ لَعَلـَّكُمْ تَهْـتَدُونَ ’{ال عـمران 103
Dan
berpegang teguhlah kamu sekalian dengan tali Allah dan janganlah kamu
sekalian berpecah belah, dan ingatlah nikmat Allah atas kamu semua
ketika kamu bermusuh-musuhan maka Dia (Allah) menjinakkan antara
hati-hati kamu maka kamu menjadi bersaudara sedangkan kamu diatas tepi
jurang api neraka, maka Allah mendamaikan antara hati kamu. Demikianlah
Allah menjelaskan ayat ayatnya agar kamu mendapat petunjuk”(Q.S. Ali
Imron ayat 103)
4.
Sila keempat berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmad
Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan bermakna bahwa dalam
mengambil keputusan bersama harus dilakukan secara musyawarah yang
didasari oleh hikmad kebijaksanaan.
Dalam konsep
Islam, hal ini sesuai dengan istilah mudzakarah (perbedaan pendapat) dan
syura (musyawarah).[4] Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan
selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu selalu bersikap
bijaksana dalam mengatasi permasalahan kehidupan dan selalu menekankan
musyawarah untuk menyelesaikannya dalam suasana yang demokratis. Di
antaranya adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat Ali Imron ayat
159.
فَبِمَا رَحْمَةٍ
مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ
لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ
وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (159)
Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.(QS. 3:159)
5.
Sila kelima berbunyi Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia bermakna
bahwa Negara Indonesia sebagai suatu organisasi tertinggi memiliki
kewajiban untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia.
Dalam
konsep Islam, hal ini sesuai dengan istilah adil. Al-Qur’an dalam
beberapa ayatnya memerintahkan untuk selalu bersikap adil dalam segala
hal, adil terhadap diri sendiri, orang lain dan alam. Di antaranya
adalah yang tercermin di dalam Al-Qur’an Surat al-Nahl ayat 90.
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى
وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (90)
Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada
kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemunkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran.(QS. 16:90)
Di
dalam setiap arti penafsiran ayat-ayat di atas penulis mencoba
menjelasakan tentang konsep dan sistem untuk lebih dalam memahami ajaran
islam secara kaffah (komferensip) seperti yang tertuang dalam surat
al-baqarah ayat 208.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا
تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ(208)
“Wahai
orang-orang yang beriman, masuklah kalian kepada Islam secara kaffah
(menyeluruh), dan janganlah kalian mengikuti jejak-jejak syaithan karena
sesungguhnya syaithan adalah musuh besar bagi kalian.” (QS.2:208)
Dan
masih banyak lagi penjelasan yang mendasari tentang pancasila dalam
pandangan keislaman bukan hanya sebatas penafsiran 5 sila tetapi lebih
kedalam konteks ideologi, syariat, hukum, syasat dan sistem
bernegara.Pembahasan ini tentunya berakhir kepada kesimpulan kembali
kepada keyakinan kita masing-masing dan satu hal yang pasti ialah fitrah
manusia yang ingin memahami sesuatu sepenuh-penuhnya sebaik-baiknya dan
sedalam-dalamnya agar teks pancasila terasa kian bernyawa.
0 komentar:
Posting Komentar