Aku ingin kau tetap telanjang tak tertutup apa-apa. Wahai kau 'Kebenaran' menarilah !
(Ramdhany)
|
Pada dasarnya,
secara alamiah (fitrah) manusia itu berangkat dari titik kebaikan dan
kebenaran. Kemudian, manusia pada perjalanan hidupnya akan selalu berupaya
menuju kepada Kebenaran, dan itulah yang dinamakan dengan istilah hanief.
Dalam
setiap pola dan tata tindakannya, manusia selalu ingin dikatakan benar dan
berada dalam sistem kebenaran. Artinya, walau pun pada nyatanya kesalahan
melekat pada pada pola tindakan manusia tersebut, ia tetap ingin menyatakan
diri sebagai pihak yang benar.
Dari
situlah muncul kerelativan atau kenisbian atas kebenaran dan kesalahan yang
melekat pada diri setiap manusia. Unsur subjektivitaslah yang menjadikan
kebenaran dan kesalahan menjadi bias dan kabur atas makna yang sejatinya.
Lantas
kita dapat membedakan dua hal. Pertama hal yang menyangkut kebenaran dalam
dirinya sendiri, kedua pada wilayah yang menyangkut kepada cara-cara yang ditempuh
untuk menuju kebenaran itu.
Apakah
seseorang dapat dikatakan berada di pihak yang benar, sedangkan cara-cara yang
ia tempuh secara jelas dan nyata terbukti merupakan kesalahan dan kekeliruan.
Sebaliknya, apakah kita layak menuduh seseorang itu berada di pihak yang salah,
sedangkan ia secara konsisten selalu berada di jalan kebenaran.
Kejernihan
pikiran dan kesucian jiwa tentu menjadi patokan dasar untuk dapat menyingkap
tabir misteri kebenaran. Tanpa kedua hal itu, kesesatan dan keegoisan diri akan
membelenggu jiwa dan raga, sehingga penglihatan, pendengaran, dan perasaan kita
tertunakan secara utuh sesampainya kita tak mampu membedakan mana yang benar
(haq) dan mana yang salah (bathil).
Kebenaran
itu nyata, begitupun dengan kesalahan. Perbedaan keduanya sangatlah jelas dan
nyata. Seseorang yang mampu membedakan atas kedua hal tersebut ialah orang yang
diberikan petunjuk, kecerdasan, dan kemurnian jiwa dari yang Maha Benar
(al-Haq).
Pada
nyatanya, Kebenaran adalah awal dan tujuan akhir manusia. Manusia selalu
berniat untuk melakukan hal yang benar dan ingin memetik hasilnya benar pula.
Kebenaran adalah awal dan Kebenaran adalah akhir. Kebenaran adalah
keberangkatan sekaligus terminal terakhir sebuah perjalanan.
Tentu
dari itu, harus ada tali penghubung antara titik awal dan titik akhir tersebut.
Penghubung antara keduannya sudah dapat dipastikan haruslah sesuatu yang benar
pula. Tidak mungkin jika memang seaindainya yang menghubungkan antara keduanya
itu adalah sesuatu yang salah dan keliru.
Tali penghubung
itu tidak lain dan tidak bukan adalah proses perjalanan yang terdiri atas
cara-cara atau jalan-jalan menuju kebenaran. Karena Kebenaran itu adalah
sesuatu yang hanya dapat dicapai melalui serangkaian proses.
Meminjam
pandangan Cak Nur (Nurcholis Madjid) bahwa Kebenaran (dengan 'K' besar) adalah
tujuan, yang boleh dikatakan, karena keterbatasan manusia tak akan dapat
dicapai secara penuh, tetapi harus terus-menerus dicari, dan terus maju ke
depan, menguak batas-batas akal-budi.
Kebenaran
pada diri manusia memanglah relatif, atau relativisme yang bersifat internal.
Cak Nur sangat menekankan perlunya sosialisasi dalam hal membuka diri antar
individu dengan individu yang lainnya atas apa yang mereka anggap dan yakini
sebagai sebuah kebenaran.
Seorang manusia
yang beriman, haruslah menyertakan dalam dirinya sikap inklusif dan toleran
kepada sesamanya. Ketertutupan diri (ekslusif) tentu bukanlah hal yang
dibenarkan.
Kegiatan
intelektual dalam pencarian atas kebenaran merupakan salah satu cara yang digunakan
oleh manusia. Dalam khazanah keilmuan Islam itulah yang dinamakan dengan
'ijtihad'.
Dalam
pendekatan filsafat, Kebenaran dapat diketahui oleh manusia melalui jalan
burhani atau demostratif. Burhani adalah suatu metode dalam upaya mengungkap
dan menyingkap tabir misteri kebenaran. Burhani selalu memberikan suatu bukti
atas teori yang tak dapat terbantahkan.
Sang Maha
Benar berpesan: "Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana, dan
pesan yang baik; dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik (Qs. 16: 125).
Kebenaran
itu haruslah dapat dibuktikan secara rasional. Karena sesuatu yang rasional itu
merupakan penjelas atas apa yang senyatanya ada. Kebenaran itu ada dan nyata.
Jadi yang ada dan nyata itu tentu dapat dijelaskan secara rasional.
Kebenaran
itu tak hanya cukup ditulis atau hanya sekedan diujarkan saja. Jika demikian,
maka ia tak mampu untuk menjelaskan cara-cara atau jalan-jalan mengapa ia harus
disebut sebagai orang yang benar.
Keberanian
diri dan kesanggupan rasio kita untuk menjelaskan cara-cara dan jalan-jalan
menuju kebenaran itu, tentu merupakan fitrah kemanusiaan.
Seseorang
yang menutup diri dan tidak mampu mempertanggungjawabkan atas apa yang ia
anggap benar merupakan sikap yang apatis dan egois.
Keapatisan
dan keegoisan adalah dua sifat manusia yang anti kemanusiaan dan bertentangan
dengan nilai-nilai Kebenaran.
Kebenaran
itu telanjang, maka janganlah engkau buat ia terbungkus dengan sesuatu hal yang
palsu dan layu. Biarlah ia tetap telanjang tak terbungkus apa-apa.
Sembari menyadari
bahwa saat Kebenaran itu telanjang, ia tak akan pernah membisu dalam waktu yang
kaku dan beku. Karena kebisuan hanya akan melahirkan ketidakpastian, sedangkan
ia (Kebenaran) adalah suatu hal yang pasti.
Jadi,
kita adalah manusia yang berangkat dari titik awal dan berakhir di tujuan yang
sama, yaitu Kebenaran. Lantas pastikan bahwa kita berani dan mampu
bertanggungjawab atas jalan dan cara yang kita tempuh selama melewati proses
pencarian atas Tujuan Akhir tersebut.
Wallahu
a'lam.
sumber: daniramdhany.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar