• Latest News

    Senin, 13 Juli 2015

    Keberadaan energi dan ekonomi tidak lagi bersinergi

    EKONOMI vs ENERGI

    Kebutuhan pokok
    Energi adalah salah satu kebutuhan pokok masyarakat kedua setelah makanan, keberdaannya pun erat sekali kaitannya dengan keberlangsungan hidup masyarakat, baik masyarakat kalangan bawah, menengah hingga tokoh elit. Munafik rasanya jika semua tidak saling keterkaitan satu sama lainnya, bagaikan kancing dan baju yang tak bisa dipisahkan. Bukan cerita tapi realita, masyarakat Kota Tangerang Selatan pada khususnya mengeluh terhadap kenaikan harga BBM yang kini melonjak. Semua lapisan masyarakat mulai mengeluh mulai dari  ibu rumah tangga, pedagang kaki lima, sopir angkot, sampai  para penjual sayur di pasar pun ikut mengeluh akibat harga angkut naik, sehingga pembeli menjadi sepi dari pada sebelumnya, setiap orang yang akan bepergian hendaknya mengurungkan dulu niatnya jika memang uangnya lebih prioritas buat makan dari pada bepergian, para pelajar memilih berjalan kaki dari pada naik angkut karena biaya angot lebih mahal dari pada jajan mereka, seperti yang di ungkapkan Astiawati (41). seorang Ibu Rumah Tangga kepada anaknya, “BBM naik, sekarang jalan kaki ajah ke sekolah, gak usah naik angkot” ujar Astiawati.

    Layaknya makanan pokok masyarakat, energi akan mengalami pasang surut layaknya air laut jika tidak diminimalisir sesuai kebutuhan, meminimalisir energi bukan berari tidak menggunakan sama sekali, melainkan menggunakan sesuai kebutuhan.

    Melestarikan energi
    Sebaiknya keberadaan energi  harus dimanfaatkan dan disesuaikan dengan kebutuhan mulai dari dalam bumi, jangan sampai musnah dari bumi pertiwi yang kaya ini. Semakin banyaknya kendaraan yang dimiliki hampir seluruh lapisan masyarakat memiliki kendaraan bermotor, membuat energi bumi terkuras habis Kebijakan pemerintah menaikan harga BBM rupanya berimbas terhadap daya beli masarakat, “Kebutuhan pokok menjadi naik, dari harga beras kisaran 6500 s/d 7000 kini naik menjadi 8000, ini karena BBM naik,” ungkap Wali, pemilik warung yang berjualan bahan pokok. Masyarakat terus mengeluh seiring melonjaknya harga kebutuhan pangan. Seperti harga daging sapi di pasar Rebo Jakarta Timur kisaran 195.000/kg. di tambah lagi harga kedelai, makanan pokok masyarakat menengah ke bawah ini kini melonjak melebihi batasan, kekuatan ekonomi bangsa kian melemah seiring dengan melemahnya moralitas bangsa, baik diranah pendidikan, sosial, agama dan budaya.

    Meroketnya kebutuhan pangan tidak bisa dibiarkan begitu saja, harus ada tindakan khusus dari pemerintah. Salah satu upaya yang di lakukan pemerintah yaitu menaikan harga BBM, kini berimbas terhadap kebutuhan pokok utama masyarakat, seharusnya pemerintah melihat kemungkinan-kemungkinan dari kebijakan yang akan di lakukan, pemerintah juga harus memiliki solusi dan strategi yang lebih relefan di samping menaikan harga BBM, misalnya mengurangi kendaraan yang di miliki oleh lapisan masyarakat, mulai dari tokoh elit, pejabat, pengusaha, hingga masyarakat umum, dengan demikian energi bumi pun akan lebih hemat. Sehingga keberadaan energi  akan terus bersinergi.

    Masalah ekonomi
    Dewasa ini ekonomi lebih banyak menyoroti bagaimana memaksimalkan sumber daya yang terbatas. Dalam praktek, keduanya sering bertolak belakang. Dan pada umumnya, kebijakan pemerintah tidak bisa mengakomodasi keduanya secara bersamaan. Bagi kalangan pro-demokrasi, terlalu sering muncul kritikan, kebijakan pemerintah khususnya di bidang ekonomi tidak memperhatikan rakyat kecil. Misalnya ketika pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), pupuk, dsb. Demikian juga dengan akses usaha kecil yang minim, sementara usaha besar memperoleh akses di berbagai bidang ( ijin usaha, modal dsb ).

    Ketidakmampuan pemerintah untuk menggabungkan pemberian akses bagi semua pihak secara demokratis dan mempertahankan kinerja muncul juga pada skala mikro. Misalnya isu mengenai privasi BUMN, penjualan bank-bank kepada pihak asing, pemberian konsesi secara berlebihan pada kontrak karya perusahaan minyak dan tambang asing dsb. Jika ingin disederhanakan, salah satu persoalan paling serius yang dihadapi oleh kebijakan ekonomi pemerintah adalah terlalu berorientasi pada kinerja dan hasil, tetapi bukan pada pemerataan dan pelibatan semakin banyak pihak.

    Berdasarkan pengalaman-pengalaman di banyak Negara, pertumbuhan ekonomi yang tinggi terjadi dalam sebuah sistem pemerintahan yang otoriter. Pada zaman orde baru, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 7 %. Sementara sekarang, ketika memasuki masa reformasi yang mulai mengedepankan demokrasi, tingkat pertumbuhan rata-rata hanya 5 %. jadi jika memang ekonomi orientasinya hanyalah bertujuan untuk memaksimalkan kinerja dan hasil, maka masalah demokrasi sama sekali tidak penting. Pengalaman serupa dialami oleh China, Malaysia, Singapura, dan Rusia. Pertumbuhan otoriter mampu memaksimalkan pertumbuhan ekonomi.

    Namun, dalam jangka panjang, tampaknya fase pertumbuhan tinggi dengan pemerintahan otoriter tidak bisa lagi dipertahankan. Oleh karena itu, diperlukan  satu pendekatan yang lebih menyeluruh, melihat perekonomian dalam keseluruhan sistem sosial.

    Pertautan masalah ekonomi  dan demokrasi menjadi perhatian banyak pihak. Dalam tradisi ilmu ekonomi, peranan demokrasi seringkali dipahami sebagai faktor kelembagaan yang mempengaruhi kinerja ekonomi. 

    Dalam sejarah penerimaan hadiah Nobel Ekonomi, tokoh-tokoh yang dianggap memiliki garis pemikiran yang serumpun adalah Ronald H. Coase yang menerima Nobel ekonomi tahun 1991 serta Oliver E. Wiliamson ( penerima No bel Ekonomi 2009 ). Sumbangan penting pemikiran Wiliamson adalah mengenai realisasi  antara pasar dan hirarki. Sistem pasar bukanlah satu-satunya cara untuk memecahkan masalah, tetapi tata kelola organisasi dalam sebuah sistem birokrasi juga menjadi bagian dari cara mengelola sumber daya ekonomi agar bisa mencapai manfaat yang maksimal.

    Dari pandangan mereka, sebuah pembangunan ekonomi pada dasarnya juga harus menyentuh pembangunan kelembagaan diluar mekanisme harga, keuntungan dan efisiensi. Pranata, nilai, norma, kebudayaan sangat mempengaruhi kualitas perekonomian. Secara lebih sempit demokrasi akan menentukan seberapa berkualitas perekonomiaan itu bekerja. Tanpa ada demokrasi, pertumbuhan ekonomi yang mungkin saja bisa tinggi, akan menimbulkan beberapa persoalan seperti ketimpangan, antara kelompok kaya miskin, sektor ekonomi dan antar  daerah. Ada daerah yang kaya dan ada daerah yang miskin.

    Diskusi mengenai kaitan antara demokrasi dan ekonomi pernah ramai menanggapi pidato pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Boediono pada 24 Februari 2007 ( saat ini Wakil Presiden RI ). Dalam pidatonya, Prof. Boediono  mengkaitkan antara kinerja ekonomi dengan kineja demokrasi Indonesia.

    Yang menarik adalah kinerja ekonomi kita justru lebih buruk daripada ketika masih menganut sistem otoriter pada masa Orde Baru ( 1966-1997 ).,

    Prof. Boediono mengutip ulasan seorang kolomnis Majalah terkemuka Business Week, Fared Zakaria ( 2003 ) yang menunjukkan sebuah studi empiris ( berdasarkan data lapangan ) antara tahun 1950-1990. Studi tersebut menunjukkan sebuah studi empiris ( berdasarkan data lapangan ) antara tahun 1950-1990. Studi tersebut menunjukkan bahwa sistem demokrasi akan berjalan dengan baik, apabila tingkat pendapatan perkapita penduduknya sudah mencapai AS$6.600 dengan memperhitungkan perbedaan kemampuan berbelanja ( paritas daya beli ).

    Stabilnya ekonomi Bangsa
    Stabilnya Bahan Bakar Minyak ( BBM ), dan bahan pokok masyarakat seperti beras, tepung terigu, telor, minyak dan sebagainya, merupakan salah satu pemicu utama stabilnya ekonomi bangsa. Stabilnya ekonomi mengurangi tingkat pengangguran, kejahatan, dan putusnya sekolah bagi anak yang kurang mampu. Peran Negara sangat penting mengingat satu sama lainnya saling keterkaitan, ketidak stabilan ekonomi menjadi bukti absennya Negara dan telatnya mengambil kebijakan secara tegas dan komitmen. Negara seharusnya tidak lagi mengimpor bahan pangan dari Negara lain, karena ini menambah kelucuan dalam roda perekonomiaan Bangsa. Sebagian besar penduduk yang tinggal di pedesaan itu bermata pencaharian sebagai petani, demikian halnya yang tinggal dipesisir pantai bekerja sebagai nelayan ( pencari ikan di laut ), ini bukti konkrit bahwa kekayaan ekonomi Indonesia begitu besar, hanya saja bagaimana cara mengolahnya agar hasil dari panen itu bisa dikonsumsi bahkan diperjualbelikan kepada bangsa sendiri. Garam yang dihasilkan dari laut juga tidak sedikit, karena Indonesia terdiri dari kepulauan bahkan lebih luas lautan dari pada daratan, sehingga pantas sampai saat ini Indonesia disebut dengan Negara kepulauan, bahkan aneh rasanya jika ada impor garam dari Negara lain.

    Kebijakan pemerintah yang tegas dan tepat sasaran adalah upaya menjawab permasalahan energi agar bisa bersinergi guna menstabilkan perekonomiaan Bangsa, dengan harapan tidak terjadi lagi jatuh bangun, sehingga neraca perekonomiaan bangsa terus stabil .

    oleh: Nurjamilah Supiatin
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Item Reviewed: Keberadaan energi dan ekonomi tidak lagi bersinergi Rating: 5 Reviewed By: hmikomfaktek.com
    Scroll to Top