Ilustrasi Pemilu |
oleh: Fauzan Muzakki
Sejarah mencatat betapa
pentingnya eksistensi mahasiswa dalam perubahan konteks politik dan sosial
bangsa indonesia. Begitu banyak sumbangsih yang telah dilakukan mahasiswa dalam
upaya penyelesaian problematika politik dan sosial di masyarakat. Sebagai
contoh pada era orde lama, paska terjadinya peristiwa pemberontakan G 30 S-PKI.
Pada waktu itu persepsi yang muncul adalah keterdesakan bagi kalangan mahasiswa
untuk turut serta menolak keberadaan PKI. Karena apabila hal itu tidak dilakukan,
maka nantinya akan membawa dampak ancaman yang sangat negatif dan mengancam
bagi proses birokrasi pemerintahan pada saat itu.
PKI yang dianggap oleh
kalangan mahasiswa sebagai ancaman bagi tegaknya stabilitas politik dan keamanan
negara, karena menolak pancasila sebagai ideologi kebangsaan dan berusaha
melakukan kudeta terhadap rezim soekarno yang sedang berkuasa. Fatalnya gerakan
kudeta yang dilancarkan saat itu untuk menggulingkan pemerintahan, dilakukan
dengan jalan penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal angkatan darat di
jakarta.
PKI juga membentuk dan
mengumumkan dewan revolusi pada tanggal 1 november 1965. Kejadian tersebut
menghasilkan implikasi negatif bagi keamanan negara dan perekonomian yang saat
itu kian terpuruk dengan tingginya inflasi harga barang. Parahnya, pemerintahan
orde lama saat itu dinilai tidak berusaha secara tegas menindak kekacauan yang
dilakukan oleh PKI. Hal itulah yang akhirnya menimbulkan kekisruhan dan
kegusaran bagi rakyat. Demonstrasi yang terkait penolakan PKI pun akhirnya
secara gencar dipelopori dan dilaksanakan oleh kelompok mahasiswa.
Kalangan mahasiswa yang
kemudian membentuk KAMI (kesatuan aksi mahasiswa indonesia) dan para pelajar
membentuk KAPPI (kesatuan aksi pemuda pelajar indonesia), bertujuan agar
lebih mampu mengkoordinir agenda-agenda demonstrasi. Pada tanggal 10 januari
1966, KAMI dan KAPPI menggelar demonstrasi dengan TRITURA-nya (tiga tuntutan
rakyat). Esensi dari TRITURA sebagai berikut ; tuntutan untuk membubarkan PKI,
bersihkan kabinet dwi kora dari unsur-unsur PKI dan turunkan harga barang.
Pergerakan aksi semacam itu
tetap dijalankan mahasiswa secara simultan dan kontinu hingga pada tanggal 12
maret 1966, akhirnya PKI dan ormas-ormasnya secara resmi dibubarkan dan dinyatakan
sebagai partai terlarang. Keputusan tersebut diperkuat melalui TAP MPRS No.
IX/MPRS/1966 yang intinya melarang penyebaran ajaran komunis dan sejenisnya di
Indonesia. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran mahasiswa dalam
pengawalan proses pemerintahan dan demokrasi di Indonesia.
Pada masa orde baru pun
yang dipimpin oleh Soeharto sebagai presiden. Mahasiswa juga tidak lupa
mengambil perannya dalam rangka menjawab kegelisahan rakyat. Pemerintahan pada
masa orde baru memang dapat dikatakan berhasil dalam rangka peningkatan
perekonomian rakyat dan pembangunan nasional tetapi sayangnya semua itu
dibangun dengan pondasi yang keropos dengan banyaknya hutang luar negeri
terutama kepada para negara investor asing dan lembaga – lembaga keuangan
internasional seperti IMF, IBRD, ADB dll. Mereka tergabung kedalam IGGI (Inter
Governmental Group on Indonesia) yang kemudian berganti nama menjadi CGI
(Consultative Group for Indonesia) dan dibawah naungan Bank dunia (world bank).
Sejak awal sikap
pemerintahan Soeharto memang tampaknya lebih kooperatif terhadap investor modal
asing. Sebagai contoh, undang – undang pertama yang ditandatangani presiden
Soeharto adalah UU No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang isinya
bersifat terbuka dan bersahabat bagi masuknya modal dari negara manapun. Semua
hal itu dilakukan untuk menunjang upaya pembangunan jangka panjang yang dipola
secara sistematis melalui REPELITA (rencana pembangunan lima tahun).
Selama periode
kepemimpinannya, presiden soeharto sudah melakukan lima kali periodisasi
REPELITA dan sebenarnya REPELITA ini membawa dampak pembangunan yang cukup
signifikan, namun sayangnya semua itu tidak disertai dengan kemandirian asupan
modal secara mandiri yang kemudian berimplikasi terjeratnya negara ini dengan
banyaknya hutang dan bunga pinjaman yang semakin bertambah.
Hal itu pun kemudian
diperparah dengan terjadinya krisis moneter pada tahun 1997 yang menimbulkan
kekisruhan yang amat sangat luar biasa. Krisis moneter tersebut berimbas
penurunan drastis dan lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar. Pemasukan
negara dalam rupiah pun menjadi “collapse”, yang kemudian merambah ke berbagai
sektor perekonomian. Sebagai contoh ; likuidasi beberapa bank, penutupan
beberapa bank dan bangkrutnya banyak perusahaan yang memicu terjadinya
pemecatan (PHK massal) dan Harga sembako pun semakin melonjak naik yang semakin
menjerat daya beli masyarakat saat itu.
Peristiwa inilah yang
menjadi landasan terjadinya konflik sosial dan berbagai kriminalitas seperti
penjarahan toko swalayan dan mall-mall besar. Krisis ekonomi inilah yang
akhirnya menciptakan letusan krisis sosial dan politik yang berujung
pengunduran diri soeharto dari kedudukannya sebagai presiden republik
Indonesia. Perlu dicatat bahwa mahasiswa telah memberikan andil yang sangat
besar ketika menurunkan rezim soeharto yang juga otoriter. Demonstrasi gencar dilakukan
oleh kalangan mahasiswa yang menuntut pemerintah untuk menciptakan stabilitas
ekonomi dan keamanan. Gerakan demonstrasi oleh para mahasiswa itu semakin
gencar setelah pemerintah mengumumkan kenaikan BBM dan ongkos angkutan pada
tanggal 4 mei 1998.
Puncak aksi mahasiswa
terjadi pada tanggal 12 mei 1998 yang berujung tewasnya 4 orang aktivis mahasiswa
trisakti setelah tertembak peluru oleh pihak aparat. Paska kejadian tersebut,
rakyat dan mahasiswa semakin solid untuk menentang kebijakan pemerintah yang
tidak demokratis dan tidak merakyat. Kita juga patut mengingat bahwa pada era
rezim soeharto telah terjadi banyaknya penculikan dan penghilangan para aktivis
yang menentang kepemimpinan presiden soeharto. Didalam tubuh pemerintahan yang
dipimpin soeharto juga marak terjadinya praktek KKN (korupsi, kolusi dan
nepotisme) yang merupakan penyakit yang telah merusak birokrasi pemerintahan
saat itu.
Dari tinjauan secara
historis itu, maka sangatlah patut apabila tugas agen perubahan disematkan
kepada mahasiswa sebagai bentuk penegakan kedaulatan rakyat. Terlebih semua hal
itu telah ditunjang oleh kualitas akademis yang dimiliki mahasiswa dan akrab
dengan karakteristik sikap yang kritis, inovatif, kreatif dan penuh dengan
gagasan revolusioner. Oleh karena itu dibutuhkan kesadaran kolektif mahasiswa
dan semangat pengabdian bagi bangsa ini dengan cara memberikan solusi atas
pelbagai persoalan yang dirasakan oleh masyarakat.
Fakta sosial di era reformasi yang kini tengah dihadapi para
mahasiswa adalah ajang semaraknya pesta demokrasi yang menuntut adanya
pengawalan secara ketat agar tetap berjalan kondusif. Kondusif tidak berarti
sekedar aman tetapi lebih elok lagi apabila ajang pesta demokrasi ini dapat
terselenggarakan sesuai dengan asas pemilu yang beresensi : langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil. Nilai – nilai itulah yang kemudian akan
menunjang lahirnya sosok pemimpin yang sesuai dengan keinginan rakyatnya.
Pemilu kepala daerah serentak merupakan momentum kontestasi politik terdekat
bagi para tokoh negeri ini untuk menduduki kasta tertinggi dalam hierarki
kekuasaan dan pemerintahan.
Begitu
pentingnya pilkada serentak ini, yang bertujuan melahirkan sosok pemimpin bermartabat dan perduli kepada kondisi dan
aspirasi masyarakatnya. Maka seyogyanya mahasiswa harus ikut andil dalam proses
pemilihan ini agar nantinya kita tidak mendapatkan figur pemimpin yang salah.
Mahasiswa dapat mengambil peran memantau kecurangan-kecurangan dan pelanggaran
yang terjadi pada momentum pra-pilkada maupun ketika pilkada dilaksanakan.
Sebagai contoh ; apabila terjadi black campaign (kampanye hitam) serta money
politic, pelanggaran alat atribut ataupun waktu kampanye yang tidak sesuai dll
dengan prosedur kampanye yang telah ditetapkan oleh KPU. Mahasiswa dapat
melaporkannya kepada bawaslu (badan pengawas pemilu) dengan disertakan
bukti-bukti yang kuat dan hal itu diyakini mampu untuk mempermudah kinerja KPU
dan bawaslu dalam rangka menumpas segala tindak pelanggaran pemilu.
Menurut saya
hal yang paling penting dilakukan adalah penumpasan terhadap tindakan money
politic yang begitu nyamannya membudaya pada konteks kontestasi politik negara
ini. Istilah serangan fajar nampaknya sudah tidak asing lagi ditelinga kita dan
mungkin sudah dianggap lumrah adanya. Hal inilah yang kemudian mencederai pesta
demokrasi kita yang sudah bisa dianggap tidak etis lagi. Meminjam perkataan
Thomas hobbes, seorang filosof dari dataran inggris yang mengatakan “Rakyat jelata
atau rakyat miskin merupakan kekuatan besar dan berpotensi bahaya karena mereka
mayoritas bersedia mengabdi pada orang yang memiliki banyak uang”.
Apabila
pernyataan hobbes itu dikaitkan dengan konteks kontestasi politik, potensi itu
kini telah menjadi nyata seiring maraknya rakyat miskin yang mudah disusupi
pilihannya hanya dengan uang. Inilah bahaya yang sangat besar bagi dinamika
politik negeri kita maka dari itu diperlukan kinerja mahasiswa untuk bisa
memberikan pendidikan politik kepada masyarakat untuk memilih dengan landasan
hati nurani dan bukan berdasarkan uang maupun materi. Selaras dengan apa yang
telah diungkapkan dimuka, marilah kita sebagai mahasiswa selalu menumbuhkan
kepekaan, semangat empati dan keperdulian terhadap konteks sosial kekinian
sehingga kita mampu menangkap problematika sosial dan mampu memberikan solusi
yang berupa gagasan progresif yang disuarakan kepada pemerintah melalui upaya
aksi nyata .
“berpisah kita berjuang, bersama kita memukul” Tan malaka ~
0 komentar:
Posting Komentar