HasbiyAllah, Cukuplah hanya Allah. Sering kita mendengar
kalimat ini terlantun dari lisan seorang muslim/mah *Seringnya pake banget gak
Va?*. Kalimat bukan sembarang kalimat. Ketika diucapkan dengan sesungguh hati,
inilah kalimat pernyataan keutuhan iman seorang hamba kepada Rabb-nya.
Jadi ingat kisah sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq yang terekam dalam sejarah ketika beliau menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah, lalu beliau ditanya, “Apa yang kau tinggalkan untuk keluargamu?” Jawab beliau, “Aku tinggalkan untuk keluargaku, Allah dan Rasul-Nya.” Hmm. Dulu nih, jaman dulu *Berasa Tua*. Lebih entah berapa tahun-an yang lalu mungkin, saya suka mempertanyakan dalam hati jawaban Abu Bakar ‘alaihissalam ini. Otak saya yang masih didominasi oleh logika ’semata’ *Alhamdulilah masih punya otak* mencoba memahami bagaimana bisa Abu Bakar sebegitu yakinnya bahwa ia bisa hidup dan menghidupi keluarganya tanpa harta sepeser pun yang ia tinggalkan. *Maklum dulu belum paham soalnya*.~
Ya, Abu Bakar adalah contoh nyata seorang hamba Allah sekaligus pengikut Rasulullaah Saw yang begitu shahih aqidahnya *Subhanallah*. Tingkat keyakinan beliau pada Allah dengan segenap kuasa-Nya adalah bulat 100% bukan setengah % lagi loh. Beliau teladan yang sempurna. Beliau terlepas dari setiap bentuk ketergantungan terhadap makhluk, baik manusia, harta, jabatan, kedudukan, dan blablabla yang lain. Beliau yakin sepenuhnya bahwa rizki beliau dan keluarganya tidaklah ditanggung oleh harta yang beliau miliki melainkan sepenuhnya, semata-mata hanyalah oleh Allah Rabb Semesta Alam. Dan tingkat keyakinan yang seperti ini sangat penting untuk kita miliki sepanjang umur hidup kita, hingga kematian itu datang. Keyakinan yang utuh kepada Allah, tidak ternoda oleh kebergantungan terhadap selain Allah sekecil apapun *Yaaa sekecil apapun*.
Jadi ingat kisah sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq yang terekam dalam sejarah ketika beliau menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah, lalu beliau ditanya, “Apa yang kau tinggalkan untuk keluargamu?” Jawab beliau, “Aku tinggalkan untuk keluargaku, Allah dan Rasul-Nya.” Hmm. Dulu nih, jaman dulu *Berasa Tua*. Lebih entah berapa tahun-an yang lalu mungkin, saya suka mempertanyakan dalam hati jawaban Abu Bakar ‘alaihissalam ini. Otak saya yang masih didominasi oleh logika ’semata’ *Alhamdulilah masih punya otak* mencoba memahami bagaimana bisa Abu Bakar sebegitu yakinnya bahwa ia bisa hidup dan menghidupi keluarganya tanpa harta sepeser pun yang ia tinggalkan. *Maklum dulu belum paham soalnya*.~
Ya, Abu Bakar adalah contoh nyata seorang hamba Allah sekaligus pengikut Rasulullaah Saw yang begitu shahih aqidahnya *Subhanallah*. Tingkat keyakinan beliau pada Allah dengan segenap kuasa-Nya adalah bulat 100% bukan setengah % lagi loh. Beliau teladan yang sempurna. Beliau terlepas dari setiap bentuk ketergantungan terhadap makhluk, baik manusia, harta, jabatan, kedudukan, dan blablabla yang lain. Beliau yakin sepenuhnya bahwa rizki beliau dan keluarganya tidaklah ditanggung oleh harta yang beliau miliki melainkan sepenuhnya, semata-mata hanyalah oleh Allah Rabb Semesta Alam. Dan tingkat keyakinan yang seperti ini sangat penting untuk kita miliki sepanjang umur hidup kita, hingga kematian itu datang. Keyakinan yang utuh kepada Allah, tidak ternoda oleh kebergantungan terhadap selain Allah sekecil apapun *Yaaa sekecil apapun*.
Wah, lompat-lompat kegirangan nih jadinya. Selama hidup, adalah sebuah keharusan bagi kita untuk
senantiasa berinteraksi dengan makhluk *saya lagi ngebahas makhluknya bernama
manusia yah bukan yang lain hoho*. Interaksi inilah yang kemudian seringkali
mendatangkan kenangan-kenangan manis, namun tidak jarang pula meninggalkan
kenangan pahit. Disayang mama - papa, kakek-nenek, disenangi teman, dibayarin
makan, dianter-jemput pergi-pulang sekolah/ngampus/kerja, disenyumin orang,
dimasakin masakan enak, diajarin ilmu bermanfaat, dikasih hadiah, dihibur pas
sedih, ditemenin pas sendirian, dan masih banyak lagi kenangan manis yang bisa
terukir dari interaksi kita dengan manusia *emang punya kenangan Va?*. Di lain
pihak, bukan tidak mungkin kita mengalami saat-saat diledek, dicibir,
diketusin, dinyingyirin karena dianggap umur yang masih terlalu muda *curcol
dikit*, diklakson sama mobil belakang padahal lampu lalu lintas masih merah
*pengalaman kalo berangkat ngampus wkwk, disalip kanan-kiri padahal udah cakep
- cakep jalan lurussss, sungguh bikin kaget bin ngeri orang yang nyalip -
nyalip, apalagi nyalipnya sambil ngebut sampai bunyi ngoeeengggg kenceng banget
gitu**apasih?*, dimarahi, diomongin orang, dan di- di- lainnya yang ga enak di
hati. Ketika yang kita terima adalah hal-hal manis, alhamdulillaah *bahkan
sampe senyum-senyum kalo nginget-nginget kejadian manis**Gula kali ah*, tapi
yang kemudian sering menjadi masalah adalah bila yang kita terima adalah
hal-hal yang pahit tadi *langsung emosi atau bahkan marah-marah gak jelas sama
orang yang jelas-jelas gak tahu apa-apa, Astagfirullah*. Why? Karena
seringkali hal-hal gak ngenakin itu bikin kita bete, boring, kecewa, sedih,
sakit hati, patah hati *Hadeh secara terminologi di dunia kesehatan ini sangat
salah mas mba brooo karena cuma tulang sama gigi yang bisa patah, kalo hati
mana bisa patah?*. Perasaan - perasaan macam ini, ketika kita tidak
pandai-pandai menyikapinya, bisa jadi penyakit hati yang kronis bahkan
berkarat. Na’udzubillaah.~
Di sinilah pentingnya kalimat pertama pada catatan ini
*yang mana emang?*. Rasa sakit hati, kecewa, sedih, bete, kesel, bisa muncul
ketika kita masih menggantungkan diri pada makhluk *noh paham kan anak-anak?*.
Ketergantungan dengan berbagai macam bentuknya semisal ingin dihargai orang,
ingin disayang orang, ingin selalu diperlakukan baik sama orang, ingin selalu
ditemenin pas sendirian, ingin selalu dihibur pas sedih, ingin disenengin
dosen, macem-macem keinginan lain deh yang merujuknya selalu kepada makhluk
*dalam hal ini konteksnya saya baru membahas makhluk yang namanya manusia
hoho*. Nah selama ketergantungan dengan manusia ini masih ada, sekecil apapun,
maka ketika terjadi hal-hal yang kontra dengan keinginan-keinginan tadi, kita
akan merasakan yaa tadi itu, marah, kesel, sebel, sakit hati, kecewa, sedih.
Berbeda, sangat berbeda ketika ketergantungan ini sudah dilepaskan. Tidak ada
ketergantungan lagi terhadap makhluk. Cukuplah Allah saja yaa cukup Allah saja.
Dan cukup artinya yaa cukup. Enough is enough.^^ Cukuplah kasih sayang
dan ampunan Allah yang mengisi relung-relung hati kita *Gak boleh ada yang
lain*, maka apapun hal tidak mengenakkan yang kita terima dari manusia lain
tidak akan mengusik hati kita, tak akan membuat luka di hati kita. Ketika kita
masih harus merasa kecewa/ sakit hati atas sikap orang lain yang tidak
menyenangkan, maka semudah rasa sakit itu datang, semudah itu pula ia akan
pergi *Tsaaaah keren kan* tidak akan ia menyakiti hati dan menimbulkan penyakit
di dalamnya. Tidak akan, insyaAllah. Karena hati yang merasa cukup dengan Allah
akan selalu dalam kesadaran bahwa dirinya terlalu berharga untuk disakiti oleh
sesama manusia. So guys, yukss sama-sama kita belajar mencukupkan diri dan
hidup hanya dengan Allah. ☺ Karena sungguh, Allah maha mencukupkan
setiap kebutuhan kita. Apapun itu yaaa apapun itu.~
KlinikBd.Ningsih~
oleh: Eva Nurcahyani
0 komentar:
Posting Komentar