Saat ini berkegiatan di :
Pengurus LSM Tangerang public transparency watch (TRUTH)
Kepala divisi pelayanan dan batuan hukum LBH MATA HATI.
Kepala Sekolah Anti Korupsi (SAKTI) Tangerang
BENU |
Desember Tahun 2015 ini, Kota Tangerang Selatan merupakan salah satu kota yang ikut melaksanakan PEMILUKADA Bupati dan/atau Walikota secara serentak, hal ini sudah Nampak terlihat di Tangerang Selatan dari mulai baliho-baliho bakal calon yang terpampang sampai sibuk nya Partai Politik yang meramu pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota yang pas untuk di usung nya. Kalau di lihat dari baliho-baliho bakal calon WaliKota Tangerang Selatan yang terpampang sepertinya tidak sedikit bakal calon WaliKota Tangerang Selatan yang mempunyai hasrat untuk berkontestasi dan merebut kursi empuk jabatan WaliKota Tangerang Selatan dari istri cantik tubagus chaery whadana ini, namun jika diamati kontestasi PEMILUKADA Kota Tangerang Selatan sebenarnya hanya akan kembali memperlihatkan pertarungan klasik dengan bakal calon / petarung-petarung calon Walikota periode yang lalu.
Menjelang PEMILUKADA, Kota Tangerang Selatan masih didera berbagai macam pekerjaan rumah salah satunya dalam sektor urusan jabatan struktural mulai dari jabatan Lurah sampai jabatan Sekretaris Daerah Kota Tangerang Selatan yang masih belum definitive. Hampir seluruh jabatan Lurah di Kelurahan-Kelurahan Kota Tangerang Selatan di jabat oleh Pelaksana Tugas hal ini menjadi pertanyaan kenapa Lurah-Lurah yang lama ini belum diganti dengan Lurah-Lurah baru agar tidak menghambat proses pemberian pelayanan publik kepada masyarakat di Kelurahan-Kelurahan tersebut. Tidak terlalu genting memang masalahnya jika kita mempertanyakan kenapa Lurah di Pelaksana Tugas kan dengan dasar argumentasi pelayanan publik namun menjadi pertanyaan sebaliknya tidak dalam keadaan genting pula jabatan-jabatan Lurah ini di Pelaksana Tugas kan yang padahal banyak Pegawai Negeri Sipil dengan eslon yang cukup memenuhi syarat menjadi Lurah di Tangerang Selatan yang siap menggantikan jabatan Lurah yang lama, apalagi Lurah-Lurah yang sudah berumur tua / Lansia namun tetap di paksakan menjabat sebagai Pelaksana Tugas Lurah seperti Kelurahan Jombang Tangerang Selatan dengan Pelaksana Tugas Lurah nya yang sudah sangat tua namun tetap dipaksakan menjabat sebagai Lurah Jombang sebagai Pelaksana Tugas.
Ketika permasalahan jabatan Pelaksana Tugas Lurah tejadi pada waktu pemerintahan yang normal mungkin hal ini akan terasumsikan biasa-biasa saja namun terlihat lain ketika hal tersebut terjadi menjelang PEMILUKADA jika boleh ditafsirkan sepertinya ada pihak yang ingin mengamankan peta pemenangan nya melalui instrumen negara pada tingkat Kelurahan dengan kata lain instrument Negara yang seharus nya tidak boleh di libatkan dalam suksesi pemenangan PEMILUKADA ini sedang di ramu agar terlibat dalam tim pemenangan salah satu calon nantinya, tapi untuk kepentingan siapa hal itu lah yang belum terjawab.
Hal senada terjadi pada jabatan Sekretaris Daerah (SEKDA) Kota Tangerang Selatan, jauh-jauh hari sebetulnya jabatan Sekretaris Daerah Kota Tangerang Selatan harus nya sudah dapat terisi SEKDA yang baru namun sampai saat ini prosesi pemilihan SEKDA baru untuk Kota Tangerang Selatan seolah menemukan titik buntu, dengan begitu sepertinya jabatan SEKDA di Tangerang Selatan juga harus di Pelaksana Tugaskan mengingat posisi itu tidak boleh dibiarkan kosong apa lagi menjelang PEMILUKADA, yang menjadi pertanyaan apakah hal ini sengaja atau tidak disengaja????.
Dimana penyebab dan akar masalah sebetulnya?? Apakah ini penyebab teknis yang murni terjadi atau penyebab teknis yang sengaja di cipta??? Dengan prosesi pembentukan panitia seleksi yang kurang transparan tim panitia seleksi pemilihan SEKDA Kota Tangerang Selatan terpilih dan terbentuk,konsep pemilihan tim pansel yang kurang transparan tersebut memicu berbagai macam reaksi untuk merombak ulang Tim Pansel SEKDA Kota Tangerang Selatan.
Undang-undang nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara berserta aturan turunan nya sudah sangat detail menjelaskan prosesi dan tata cara membentuk pansel dan pemilihan SEKDA, menjadi aneh jika Tangerang Selatan tidak memahami tata cara tersebut, aturan nya sudah jelas dan cukup simple sebetulnya dari segi waktu pun tidak membutuhan waktu yang lama dalam melaksanakan tatacara pemilihan jabatan SEKDA namun jika ada proses yang rumit dan lama besar kemungkinan itu di ciptakan agar prosesi pemilhan SEKDA Kota Tangerang Selatan terhambat dan Pelaksana Tugas SEKDA lah solusi sementaranya.
Pertanyaan berikut nya apa yang menjadi salah jika SEKDA Tangerang Selatan di isi oleh Pelaksana Tugas?? Jika saat kondisi waktu yang normal mungkin ini menjadi tidak terlalu bermasalah karena hal tersebut juga memiliki dasar namun menjelang PILKADA jabatan Pelaksana Tugas SEKDA dapat banyak di fungsikan dalam konsep pemenangan dengan melibatkan instrumen Negara, karena dengan konsep lelang jabatan SEKDA saat ini semua PNS dengan golongan Eslon II se indonesia bisa ikut mendaftar menjadi Sekda di Tangerang Selatan dan jika terpilih SEKDA yang baru bisa jadi SEKDA yang lolos itu bukan dari lingkungan pemerintahan Tangerang Selatan sehingga dengan konsep seperti ini akan sulit bersinergi nya, untuk arti yang lebih luas silahkan talar dan elaborasikan maksud dari paragraft ini.
Atmosfer persaingan sudah sangat terasa di Tangerang Selatan, pengkondisian-pengkondisian di setiap elemen sudah jauh-jauh hari dipersiapkan jika dipahami sangat nyentrik tehnik trik klasik nya. Satu persatu elemen-elemen penting telah berhasil di kondisikan, dengan waktu pelaksanaan PEMILUKADA yang tidak lama lagi ini menjadi penting pemetaaan tim pemenangan yang solid.
Belum lagi pengkondisian yang dilakukan di tubuh penyelenggara pemilu itu sendiri seperti PANWASLU misalnya, karena sudah banyak pengalaman terjadi pelenggaran-pelanggaran PEMILUKADA justru dilakukan oleh si penyelenggara pemilu itu sendiri, hal ini jelas tendesi untuk kepentingan salah satu calon.
Belum lama ini salah satu pengurus LSM tangerang public transparency watch (TRUTH) yang bernama Yudi Adiyatna mengikuti seleksi penerimaan pengawas pemilu kecamatan (PANWASCAM) Kota Tangerang Selatan, dalam proses recruitment PANWASCAM tersebut yudi banyak menemukan kejanggalan, salah satu hal yang Yudi temukan adalah adanya peserta calon PANWASCAM yang mengikuti tes namun tidak terdaftar dalam absensi dan yang aneh nya justru orang yang namanya tidak terdaftar dalam absen tersebut yang lolos sebagai PASNWASCAM, logika nya setiap calon PANWASCAM untuk mengikuti tes sebelum nya harus melengkapi persyaratan formil pendafaran dalam jangka waktu yang telah di tetapkan namun jika orang yang tidak terdaftar dalam absensi ikut dalam tes seleksi besar kemungkinan orang ini tidak melengkapi persyaratan prosederul pendaftaran nya namun bisa mengikuti tes dan lolos sebagai PANWASCAM.
Menjadi pertanyaan memang jika benar lembaga pengawas pemilu saja sudah melakukan kecurangan dalam rekruitmen anggota nya apa lagi peserta pemilu nya, atau mungkin antara penyelenggara dan peserta serta pengawas pemilu nya sudah sama-sama melakukan persekongkolan untuk membentuk suatu tim pemenangan.
Hal seperti ini sebetul nya pola lama yang sering dilakukan dalam pengkondisian untuk pemenangan, banyak yang sukses dalam pola kecurangan terstruktural,sistematis dan massif ini namun banyak juga yang akhirnya terbongkar kecurangan-kecurangan nya ketika pasangan calon yang kalah menggugat hasil PEMILUKADA tersebut ke Mahkamah Konsitusi. Tangerang Selatan sendiri pada periode pemilihan Walikota yang lalu mempunyai pengalaman untuk hal tersebut yaitu salah satu pasangan calon yang berkontestasi saat itu terbukti melakukan pelanggaran terstruktural,sistematis dan massif sehingga menyebabkan PEMILUKADA Kota Tangerang Selatan periode yang lalu menjadi 2 kali putaran, dengan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi KPU Kota Tangerang Selatan diperintahkan untuk melakukan pemungutan suara ulang di seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Kota Tangerang Selatan karena di temukan pelanggaran dan kecurangan pada PEMILUKADA Kota Tangerang Selatan pada putaran pertama.
Setiap pasangan calon yang merasa dicurangi dan kalah dalam PEMILUKADA berhak menggugat perselisihan hasil pemilhan umum (PHPU) daerah nya ke Mahkamah Konsitusi, kalaupun ada pasangan calon yang melakukan kecurangan terstruktural,sistematis dan masif tersebut dapat terungkap nantinya dalam fakta persidangan di Mahkamah Konsitusi selama pasangan calon yang menggugat mempunyai bukti yang kuat dan valid, jadi ada upaya yang bisa dilakukan setiap pasangan calon yang merasa tidak puas atau merasa dirugikan dalam PEMILUKADA.
Tetapi PEMILUKADA harini memliki regulasi yang baru yaitu UU nomor 8 tahun 2015 dalam undang-undang ini konsep permohonan ke Mahkamah Konsitusi tentang PHPU menjadi jauh berbeda salah satu pasal yang paling ekstrim dalam undang-undang ini jika di tela’ah dengan cermat dapat memberikan ruang untuk menghalalkan kecurangan yang terstruktural,sistematis dan massif artinya kalaupun ada pasangan calon yang menang dengan kecurangan selama selisih suara nya memenuhi unsur batasan undang-undang ini maka pasangan calon tersebut dapat mengkunci kemenangan nya tanpa perlu khawatir adanya gugatan pasangan calon yang kalah ke Mahkamah Konsitusi.
Di bagian manakah isi dari undang-undang nomor 8 tahun 2015 tentang PILKADA yang jika di tarik kesimpulan nya bisa memberikan ruang untuk setiap kontestan di halalkan melakukan kecurangan namun tidak dapat di gugat ke mahkamah konstusi.
Mari kita baca dengan cermat Pasal 158 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-undang Nomor 8 tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-undang menyatakan:
1. Peserta pemilihan gubernur dan wakil gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil perhitungan suara dengan ketentuan:
a. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2 % (dua persen) dari penetapan hasil penghitunga perolehan suara oleh KPU provinsi;
b. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta), pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5 % (satu koma lima persen) dari penetapan dari hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU provinsi;
c. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak 1 % (satu persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU provinsi; dan
d. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5 % (nol koma persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU provinsi.
2. Peserta pemilihan bupati dan wakil bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara dengan ketentuan:
a. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebanyak 2 % (dua persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPUKabupaten/Kota;
b. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, pengajuan perselisihan suara dilakukan apabila terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5 % (satu koma lima persen) dari penetepan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPUKabupaten/Kota;
c. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1 % (satu persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara dari KPU Kabupaten/Kota; dan
d. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5 % (nol koma persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Kabupaten/Kota.
Pasal 158 Ayat (1) dan Ayat (2) tersebut adalah bentuk pembatasan gugatan yang boleh di layangkan ke Mahkamah Konstiusi, batasan gugatan ini lah yang nantinya dapat mengamankan pasangan calon yang meskipun menang dengan kecurangan namun tidak dapat di gugat ke Mahkamah Konstitusi karena dengan acuan selisih suara yang memasuki unsur Pasal 158 Ayat (1) dan Ayat (2) tersebut maka Mahkamah Konstitusi akan menolak permohonan gugatan pasangan calon yang kalah, sekalipun penggugat mempunyai bukti yang valid terkait data kecurangan pasangan calon yang menang namun pintu gugatan sudah tertutup dengan batasan Pasal 158 Ayat (1) dan Ayat (2) tersebut.
Bisa dibayangkan jika penerapan Pasal 158 Ayat (1) dan Ayat (2) tersebut benar-benar di manfaat kan secara negative oleh pasangan calon yang memang memiliki akses/kesempatan melakukan kecurangan yang terstruktural,sistematis dan masif dengan melibatkan penyelenggara pemilu, rumus sederhana nya kecurangan tinggal di lakukan dengan penggelembungan suara dengan cara suara yang terdata dalam berita acara tingkat TPS (formulir C) di gelembungkan pada saat direkapitulasi ke tingkat Kelurahan (formulir D) pada tahap itu saja bisa dilakukan penggelumbangan suara yang begitu banyak apa lagi penggelembungan suara itu di lakukan sampai rekapitulasi suara tingkat Kecamatan (formulir DA) digelembungkan lagi pada saat rekapitulasi suara ke tingkat Kota (formulir DB) dan sampai rekapitulasi suara tingkat Provinsi (formulir DC) akan sangat mudah menggelembungkan suara sampai lebih dari selisih 2 % jika dilakukan secara terstruktural,sistematis dan masif, dan jika selisih suara sudah melebihi 2 % maka tidak ada pintu lagi untuk melakukan upaya pengajuan gugatan ke Mahkamah Konstitusi secara tidak langsung bisa kita prediksi dampak negative nya bahwasanya Pasal 158 Ayat (1) dan Ayat (2) ini adalah instrumen yang memberikan ruang untuk melakukam kecurangan dalam pemilu namun tetap sah atau di benarkan karena sistem batasan yang mengatur pengajuan permohonan gugatan tersebut telah mengunci kemenangan pasangan calon yang suara nya melebihi 2 % sekalipun kemenangan itu dilakukan dengan cara yang curang.
Rasa nya tidak tepat di berlakukan aturan pembatasan permohonan gugatan PHPU ke Mahkamah Konstitusi saat ini, hal ini akan banyak memberikan dampak negative ketimbang Positif nya. Apalagi dalam sejarah PEMILUKADA di Indonesia Mahkamah Konstitusi sendiri pernah mempersidangkan dan memutus gugatan PHPU PILKADA dengan selisih suara lebih dari 2 % dan terbukti ditemukan nya kecurangan, sebagaimana dapat dijumpai pada BEBERAPA PUTUSAN MAHKAMAH KONSITUSI yang MENGABULKAN permohonan Pemohon, yang ternyata sebelumnya antara PEMOHON dan PIHAK TERKAIT terdapat SELISIH SUARA yang SANGAT TINGGI lebih dari 3% bahkan mencapai lebih dari 8%, beberapa diantara putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah:
1. Putusan MK RI Nomor 12/PHPU.D-VIII/2010, dalam PEMILUKADAKOTA TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA Tahun 2010:
Selisih suara dalam objek sengketa antara Pemohon dan Pihak terkait: 8,29% (delapan koma dua puluh sembilan persen).
AMAR PUTUSAN: Dalam Pokok Perkara, MENGABULKAN PERMOHONAN PEMOHON.
2. Putusan MK RI Nomor 79/PHPU.D-XI/2013, dalam PEMILUKADAPROVINSI SUMATERA SELATAN Tahun 2013:
Selisih suara dalam objek sengketa antara Pemohon dan Pihak terkait: 3,91% (tiga koma sembilan puluh satu persen).
AMAR PUTUSAN: Dalam Pokok Perkara, MENGABULKAN PERMOHONAN PEMOHON.
3. Putusan MK RI Nomor 57/PHPU.D-VI/2008, dalam PEMILUKADA KABUPATEN BENGKULU SELATAN Tahun 2008
Selisih suara dalam objek sengketa antara Pemohon dan Pihak terkait: 3,30% (tiga koma tiga puluh persen).
AMAR PUTUSAN: Dalam Pokok Perkara, MENGABULKAN PERMOHONAN PEMOHON.
Dimana kemudian pasangan calon yang sebelumnya kalah, karena terbukti terjadi kecurangan-kecurangan dalam pemilu oleh pasangan calon lain yang mempengaruhi hasil pemilu, kemudian menjadi pasangan calon pemohon yang dimenangkan melalui putusan tersebut, walaupun sebelumnya selisih suara antara PEMOHON dan PIHAK TERKAIT sangat jauh persentasenya.
Menarik kesimpulan dari penjelasan diatas, Jika di amati dari triknya sepertinya terindikasi ada Bakal Calon WaliKota Tangerang Selatan yang sangat paham akan isi dari Undang-Undang PILKADA yang baru Nomor 8 tahun 2015 terutama Pasal 158 Ayat (1) dan Ayat (2), sehingga momen ini di ikuti dengan strategi pengkondisian yang masiv agar dapat memuluskan kemenangan dalam kontestasi PEMILUKADA Tangerang Selatan dengan cara haram namun terbungkus label yang halal dengan memanfaatkan penerapan Pasal 158 Ayat (1) dan Ayat (2) tersebut.
Jika melihat Pasal 158 Ayat (1) dan Ayat (2) tersebut Kota Tangerang Selatan dengan jumlah penduduk lebih dari satu juta jiwa masuk dalam klasifikasi ayat 2 huruf “d” yaitu jika ada pasangan calon yang unggul selisih suara dengan selish 0,5 persen saja maka terkunci kemenangan nya, dalam artian pasangan calon yang lain tidak dapat menggugat ke Mahkamah Konstitusi sekalipun mempunyai bukti kecurangan pasangan calon yang menang.
Dengan metode yang telah dijelaskan di atas rasanya sangat mudah untuk dilakukan oleh pasangan calon Walikota di tangerang selatan jika pasangan calon dapat mengkondisikan berbagai macam elemen penting dalam penyelenggaraan PEMILUKADA desember ini. Saat ini tinggal kita menilai dan mengawal sekiranya pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota yang mana nantinya yang memanfaat kan system pemberlakuan Pasal 158 Ayat (1) dan Ayat (2) UU nomor 8 tahun 2015 ini. Sekian terimakasih, Salam hormat.
Download TRIK NYENTRIK PEMILUKADA KOTA TANGERANG SELATAN.pdf
Download TRIK NYENTRIK PEMILUKADA KOTA TANGERANG SELATAN.pdf
0 komentar:
Posting Komentar