Pemberitahuan
mengenai tatanan keadilan dalam pranata sosial yaitu kesetaraan antara laki-
laki dan perempuan marak diperbincangkan. Sejatinya hanya kaum- kaum tertentu
yang tahu akan tatanan keadilan dalam pranata sosial atau yang biasa disebut
dengan kesetaraan gender, diantaranya yaitu kaum- kaum yang dikategorikan
sebagai kaum intelek.
Berbicara
mengenai kesetaraan gender di Indonesia sendiri merupakan persoalan sensitif
yang senantiasa menjadi perbincangan melintasi paroh klimaks peradaban yang
semakin menjulang. Mengapa masih dikatakan persoalan sensitif, dikarenakan
masih banyak pebincangan publik dimana ketika pembagian peran kesetaraan gender
tersebut yang tidak proporsional dan dehumanitas. Perbincangan ini bermula dari
kostruk yang tidak berimbang dari berbagai kompunen kehidupan yaitu diantaranya
ajaran agama, budaya dan politik. Dimana tiga sisi kehidupan ini seringkali
dianggap sebagai titik merembesnya bias gender yang kemudian mengaleansi
perempuan dalam ruang geraknya yang berkaitan dengan peran serta kebebasannya.
Karna sejatinya kesetaraan gender ini merupakan tingkat tertinggi dari
kesadaran kaum perempuan terhadap hak-haknya, akan tetapi pemenuhan hak bagi
setiap individu merupakan keniscayaan. Oleh karena itu hal yang sangat wajar
jika pembahasan mengenai kesetaran gender ini merupakan sebuah tekanan baik
dalam politik, budaya maupun agama. Namun kewajaran tersebut menjadi sebuah
perbincangan panjang karena setiap khalayak memiliki pola pandang yang beragam.
Adanya
tekanan- tekanan dalam beberapa unsur diantaranya budaya yang menjadikan kaum-
kaum perempuan dalam suku lokal jauh dari kesetaraan, masih banyak perempuan
dalam tradisi lokal yang memeluk erat tradisi- tradisi lokal yang memang jauh
dari yang namanya kesetaraan gender, dimana didalamnya persoalan mengenai
perkawinan, ekonomi, pendidikan dan politik. Karena kurangnya rembesan
pengetahuan mengenai kesetaraan gender dari luar. Seperti misalnya peran perempuan
Dayak Kalimantan Tengah yang masih tertinggal dibanding peran laki- laki. Dalam
budaya Dayak perempuan hanya sebatas subordinatif bagi kaum laki-laki, dimana
warga Dayak ini masih berpikiran bahwa perempuan hanya sebagai harta dan
warisan kaum laki-laki. Perlakuan antara anak laki-laki dan perempuan pun dibedakan,
misalnya dari segi pendidikan bagi anak laki-laki yaitu berada dibagian ngaju
dan untuk perempuan berada di bagian ngawa yaitu laki-laki berhak menerima
pendidikan setinggi- tingginya sedangkan perempuan tidak. Tradisi dan budaya
seperti ini sejak awal sudah membentuk watak dan karakter orang Dayak, sehingga
sulit rasanya bagi perempuan untuk paling tidak duduk dan berdiri sejajar
dengan kaum laki-laki apalagi berada di depan laki-laki.
Khairul
Hasni, MA seorang Direktur jaringan perempuan untuk keadilan Lhokseumawe pun
mengatakan secara umum budaya masyarakat di dunia menempatkan laki-laki pada
hierarki teratas, sedangkan perempuan menjadi nomor dua. Begitupun Edward B.
Taylor mengungkapkan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks dimana
perempuan masih dinomor duakan. Kondisi ini menjadi bagian dari hidup perempuan
dan laki-laki yang disosialisasikan secara turun temurun, hingga pada masa
sekarang perempuan masih menjadi kaum yang termarjinalkan.
Menurut
saya peran perempuan sangat rendah dan sulit maju dalam tradisi serta
kepercayaan-kepercayaan lokal di Indonesia. Suku lokal merupakan suku asli yang
sangat berpegang teguh pada nilai serta ajaran nenek moyang yang masih primitif
karena pada dasarnya mereka tidak mau menerima unsur modernisasi yang ada dalam
kesetaraan gender. Sebuah
dorongan untuk kita semua, berada dalam kebudayaan lokal yang beragam dan dalam
peradaban yang modern ini, mana fokus utama yang harus kita prioritaskan.
Antara budaya yang mendiskreditkan perempuan atau kesetaraam gender yang
mengutamakan kemajuan kaum perempuan, ini merupakan bahan renungan untuk kita
terutama perempuan.
Oleh : Eva Nurcahyani
0 komentar:
Posting Komentar