• Latest News

    Kamis, 09 November 2017

    TEMA SENTRAL POLITIK ISLAM PRAMODERN DAN BEBERAPA KECENDERUNGANNYA

     Oleh: Syaifudin Kudsi

    Kalau kita melakukan mapping mind terhadap isu-isu politik Islam pramodern, maka kita akan lebih jelas mengetahui beberapa kecenderungan pemikiran pada saat itu. Yang dimaksud dengan politik pramodern adalah fase pemikiran pasca Rasulullah wafat sampai kepada fase sebelum adanya persinggungan dengan fase pemikiran politik modern Barat. Untuk itulah nama-nama seperti Al-Mawardi, Ibn Taimiyah, Ibn Khladun dan Al-Farabi bisa kita rujuk untuk mengetahui tema-tema sentral politik Islam pramodern, selain tentunya kita tidak bisa melepaskan diri dari fosil pemikiran politik skismatik sunni, syiah dan khawarij.
    Kalau berbicara pemikiran politik sunni, syiah dan khawarij kita akan menyimpulkan bahwa common platform-nya adalah menempatkan agama (syari’ah) berada di atas kekuatan politik, walaupun menjadi berbeda ketika ditafsirkan secara politis. Sehingga common denominator baik sunni, syi’ah maupun khawarij adalah konsepsinya terhadap Islam sebagai agama time less, yaitu shahih untuk segala zaman, sehingga otoritas syari’ah di atas politik menjadi mutlak. Sehingga cita-cita zaman ini adalah idealisasi agama dalam ranah politik, baik sunni dengan konsep khilafah, ijma’ atau syuro dan bai’ah, atau pun golongan syi’ah dengan konsep imamah, wilayah dan ‘ismah-nya.
    Sebagian pakar politik Islam termasuk Din Syamsudin melakukan pembagian kecenderungan politik Islam menjadi tiga kecenderungan, pertama juristik (fiqhiyah), administatif-birokratis (idariyah) dan filosofis (falsafiyah).[1] Ketiga kecenderungan ini yang menjadi mainstream pemikiran politik pramodern. Namun tulisan ini akan lebih memfokuskan kepada pemikiran politik Al-Mawardi, Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun dan Al-Farabi.

    Konsepsi Al-Mawardi

    Al-Mawardi sebagai pemikir politik Islam yang beraudiensi dengan sunni dan syiah, menyamakan istilah khilafah dan imamah dalam mendefinisikan seorang pemimpin. Dia tidak mau terjebak pada perbedaan semantik an sich antara imamah versi syi’ah dan khilafah yang merupakan trade mark sunni. Ia menyebut seorang pemimpin (imam) adalah khilafah an-Nubuwwah (kepemimpinan kenabian) untuk menyelenggarakan masalah-masalah keagamaan atau pun yang bersifat duniawi.[2] Lebih lanjut al-Mawardi menjelaskan bahwa politik adalah sebuah keniscayaan yang berdasarkan syari’at dan akal melalui ijma’ dari umat. Kewajiban ini bersifat fardhu kifayah yang dibebankan kepada dua kelompok manusia; pertama adalah orang-orang yang mempunyai wewenang memilih khalifah bagi umat Islam, kedua adalah orang-orang yang mempunyai kompetensi untuk memimpin negara sehingga mereka menunjuk salah seorang dari mereka untuk memangku jabatan itu.[3]
    Sedangkan syarat yang harus dipenuhi bagi seorang khalifah menurut al-Mawardi ada tujuh kriteria. Pertama, pemimpin itu harus adil dengan keseluruhan persyaratannya; kedua, berilmu pengetahuan sehingga mampu berijtihad dalam kasus-kasus yang dihadapi dan ketetapan-ketetapan hukum; ketiga, memiliki kesempurnaan indra seperti pendengaran, penglihatan, dan pembicaraan agar dengannya ia bisa melaksanakan tugasnya sendiri; keempat, tidak memiliki cacat tubuh yang bisa menghalangi dinamika kerja dan tindakan segera; kelima, memiliki kemampuan mengagas yang dapat melahirkan strategi kepemimpinan rakyat dan pengaturan kemaslahatan; keenam, berani dan tangguh sehingga mampu mempertahankan negara dan melawan musuh; ketujuh atau terakhir, nasab sang pemimpin hendaklah dari keturunan Quraisy, dan mendapatkan kesepakatan (ijma’).[4] Itulah idealisasi pemimpin dari Al-Mawardi yang dijadikan hujjah mayoritas umat Islam waktu itu.
    Adapun cara pengangkatan khalifah menurut al-Mawardi melalui dua cara, pertama, dengan cara dipilih oleh kalangan ahlul-halli wal-‘aqdi dan kedua, dengan penyerahan mandat dari khalifah sebelumnya.[5] Adapun yang berhak memilih khalifah harus memiliki tiga persyaratan, yaitu pertama, mereka yang memiliki  kredibilitas atau keseimbangan (al-‘adalah) dengan keseluruhan persyaratannya. Kedua, mereka yang memiliki ilmu pengetahuan yang membuatnya mampu mengetahui siapa yang berhak dan pantas untuk mengemban jabatan khalifah dengan syarat-syaratnya. Dan ketiga, mereka yang mempunyai pendapat yang kuat dan hikmah yang membuatnya dapat memilih siapa yang paling pantas untuk memangku jabatan kepala negara dan siapa yang paling mampu dan pandai dalam mebuat kebijakan yang dapat mewujudkan kemaslahatan umat.[6]
    Al-Mawardi menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengangkatan khalifah harus melibatkan mayoritas ahlul-halli wal-‘aqdi dari seluruh negeri, karena hal demikian tidak ada presedennya dalam sejarah suksesi kepemimpinan dalam Islam. Dengan merujuk kepada pembaiatan Abu Bakar dan suksesi Umar yang menjadi pegangan mayoritas fuqoha dan mutakalilimin, Al-Mawardi menyatakan bahwa pemilih itu bisa lima orang, tiga orang, atau bahkan satu orang sudah cukup kalau merujuk pada pembai’atan ‘Ali oleh Ibn ‘Abbas.
    Hal yang terpenting dan perlu digarisbawahi pada al-Mawardi adalah pendefinisiannya tentang khalifah sebagai khilafah an-nubuwwah atau khilafah Rasulullah dan bukan khalifatullah sebagaimana yang disebut-sebut oleh sebagian ulama’ dengan merujuk pada QS. Al-An’am: 165, dimana seorang khalifah bertugas untuk menjalankan hak-hak Allah atas hamba-hambanya.[7]
    Penyebutan khalifatullah justru menurut al-Mawardi adalah tidak boleh, karena perwakilan hanya dapat dilakukan bagi orang yang sudah meninggal, sementara Allah adalah bersifat abadi. Untuk menegaskan pendapatnya ini, Al-Mawardi meriwayatkan sahabat yang memanggil Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. dengan panggilan, “Wahai khalifah Allah” Ia menjawab, “Aku bukan khalifah Allah, namun aku adalah khalifah Rasulullah saw.”
    Dengan pemilihan kata kepemimpinan profetis (khalifah an-Nubuwwah) atau atau khalifah Rasulullah ini, maka menurut al-Mawardi seorang khalifah tidak bisa memiliki kekuasaan absolut dan justru bisa diturunkan dari jabatannya karena dua hal, yaitu kredibilitas pribadinya rusak dan terjadi ketidaklengkapan pada anggota tubuhnya.[8]
    Lebih jauh Al-Mawardi merinci tentang tugas umum Khalifah itu menjadi sepuluh macam. Pertama, menjaga agama agar tetap berada di atas pokok-pokoknya yang konstan dan sesuai pemahaman yang disepakati oleh generasi salaf umat Islam. Kedua, menjalankan hukum bagi pihak-pihak yang bertikai dan memutuskan permusuhan antar pihak yang berselisih, sehingga keadilan dapat dirasakan oleh semua orang. Tidak ada orang zalim yang berani berbuat aniaya dan tidak ada orang yang dizalimi yang tidak mampu membela dirinya.
    Ketiga, menjaga keamanan masyarakat sehingga manusia dapat hidup tenang dan bepergian dengan aman tanpa takut mengalami penipuan dan ancaman atas diri dan hartanya. Keempat, menjalankan hukum had sehingga larangan-larangan Allah tidak ada yang melanggarnya dan menjaga hak-hak hamba-Nya agar tidak hilang binasa.
    Kelima, menjaga perbatasan negara dengan perangkat yang memadai dan kekuatan yang dapat mempertahankan negara sehingga musuh-musuh negara tidak dapat menyerang negara Islam dan tidak dapat menembus pertahanannya. Keenam, berjihad melawan pihak yang menentang Islam setelah disampaikan dakwah kepadanya hingga ia masuk Islam atau masuk dalam jaminan Islam atau dzimmah.
    Ketujuh, menarik fa’i dan memungut pajak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam secara jelas dalam nash dan ijtihad. Kedelapan, menentukan gaji dan besarnya ‘atha kepada rakyat dan pihak yang mempunyai bagian dari baitul-maal, tanpa berlebihan atau kekurangan, dan memberikannya pada waktunya.
    Kesembilan, mengangkat pejabat-pejabat yang terpercaya dan mengangkat orang-orang yang kompeten untuk membantunya dalam menunaikan amanah dan wewenang yang ia pegang dan mengatur harta yang berada di bawah wewenangnya. Terakhir yang kesepuluh, agar ia melakukan sendiri inspeksi atas pekerjaan para pembantunya dan meneliti jalannya proyek sehingga ia dapat melakukan kebijakan politik umat Islam dengan baik dan menjaga negara.
    Dengan pemeparan konsepsi Al-Mawardi di atas, dan melihat keseluruhan tulisannya dalam al-Ahkam al-Shulthaniyyah, maka menjadi jelas bahwa state of mind Al-Mawardi tidak hanya memberikan aksentuasi jabatan kekhalifahan sebagai jabatan yang murni bersifat yudisial dan keagamaan, melainkan juga bersifat administratif.
    Walaupun demikian, Al-Mawardi tidak bermaksud mengurangi makna keagamaan dari kekhalifahan.[9] Mungkin apa yang dikehendakinya tidak lebih dari pandangannya tentang bentuk pemisahan anatara kekuasaan yang dikombinasikan dengan desentralisasi kekuasaan politik dan administratif.[10]
    Yang perlu dicermati adalah konsepsi Al-Mawardi tentang syariah sebagai sumber justifikasi dan legitimasi  realitas poltik. Al-Mawardi memasukkan pendekatan pragmatis atas masalah-masalah politik ketika dihadapkan dengan prinsip-prinsip keagamaan. Oleh karenanya, disebut-sebut bahwa Al-Mawardi dalam beberapa hal dapat menunda kehancuran dinasti Sunni-Abbasiah terhadap kekuasaan politik Syi’ah-Buwaihi.[11]

    Konsepsi Al-Farabi

    Al-Farabi dalam teori politiknya sangat menekankan kepada kualifikasi seorang pemimpin. Tentang sosok seorang pemimpin (al-imam) yang diistilahkan oleh al-Farabi dengan al-ra’is al-awwal li al-madinah al-fadhilah, wahuwa rais al-ammah al-fadhilah, wa ra’is al-ma’murah min al-ardh kulliha,[12] harus memenuhi idealisasi atau kualifikasi tertentu. Setidaknya al-Farabi menyebutkan 12 karakteristik seorang pemimpin, yang diantaranya; bijak, berbadan kuat, bercita-cita tinggi, baik daya pemahamannya, kuat daya hafalannya, sangat cerdas, fasih berbicara, cinta kepada ilmu, sanggup menanggung beban dan kesulitan karenanya, tidak rakus kepada kenikmatan jasmani, cinta kepada kejujuran, mulia jiwanya, adil dan teladan bagi semua orang termasuk diri dan keluarganya serta pemberani.[13]
    Mengingat tidak semua orang mempunyai kapasitas untuk memimpin atau memandu orang lain dan menasihati orang lain untuk berbuat hal-hal tertentu. Menurut al-Farabi, ada tiga kelompok orang, dari segi kapasitas untuk memimpin, yaitu untuk memandu dan menasihati: penguasa tertinggi atau penguasa sepenuhnya (unqualified ruler), penguasa subordinat yang berkuasa dan sekaligus dikuasai, dan terakhir penguasa yang dikuasai sepenuhnya.[14]
    Selain memberikan perhatian kepada konsep kepemimpinan al-Farabi juga terkenal dengan konsep teoretis masyarakat utamanya (al-madinah al-fadhilah). Dalam hal ini Al-Farabi menyatakan bahwa kota yang bertujuan melalui perkumpulan yang ada di dalamnya bekerja sama dalam segala hal untuk mengejar kebahagiaan yang sejati adalah kota utama (al-madinah al-fadhilah). Perkumpulan yang dengannya saling bekerja sama untuk percapaian kebahagiaan adalah perkumpulan yang utama (al-ijtima’ al-fadhilah). Dan bangsa yang terdiri dari kota-kota yang bekerja sama untuk memperoleh kebahagiaan adalah bangsa utama (al-ummah al-fadhilah). Demikian juga dunia utama (al-ma’murah al-fadhilah) yang di dalamnya terdapat bangsa-bangsa yang saling bekerja sama untuk mencapai kebahagiaan.[15]
    Dengan demikian,  yang dimaksud dengan al-madinah al-Fadhilah adalah kota yang –melalui perkumpulan (bil ijtima’) yang ada di dalamnya—bertujuan untuk bekerja sama (at-ta’awun) dalam mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya (al-sa’adah al-haqiqiyyah).[16] Al-Madinah al-fadhilah dikontraskan pemahamannya dengan tiga istilah madinah lainnya, yaitu al-madinah al-jahiliyyah, al-madinah al-fasiqah atau al-madinah al-mubaddilah, dan al-madinah al-dhalalah.[17]
    Kota jahiliah (al-madinah al-jahiliah) adalah kota yang warganya tidak tahu tentang kebahagiaan yang sebenarnya. Ketika mereka ditunjukkan secara benar kepadanya, mereka tetap tidak memahaminya, atau tidak mempercayainya. Adapun yang mereka ketahui dari hal-hal yang baik adalah hal-hal yang secara superfisial dianggap sebagai baik diantara apa yang dianggap sebagai tujuan-tujuan hidup, seperti kesehatan tubuh, kemakmuran, menikmati kesenangan-kesenangan, kebebasan untuk memenuhi nafsu, dan diperlakukan dengan penuh hormat  (mukarraman) dan kebesaran (mu’addzoman). Inilah jenis-jenis kesenangan (sa’adah) menurut penghuni kota jahiliah.  Dan kebahagiaan terbesar serta paling sempurna adalah (al-sa’adah al-udzma al-kamilah) adalah jumlah total dari kesemuanya itu.[18]
    Lebih jauh Al-Farabi membagi enam kota jahiliah.[19] Pertama kota kebutuhan dasar (al-madinah al-dharuriyyah), yaitu penghuninya bertujuan untuk menghasilkan kebutuhan dasar bagi kelangsungan hidup dan kesehatan badan, seperti makanan, minuman, pakaian perumahan, dan hubungan seksual.
    Kedua, kota jahat (al-madinah al-badalah), yaitu penghuni kota ini bertujuan untuk meraih kekayaan dan kemakmuran secara berlebih-lebihan dan di sisi lain, tidak mau membelanjakannya kecuali untuk kebutuhan-kebutuhan badani. Ketiga, kota rendah (al-madinah al-khassah wa al-suquth), dimana penduduknya hanya memburu kesenangan dari makanan, minuman dan hubungan seks. Sebagai konsekuensi, para warga kota ini mementingkan hiburan dan hura-hura.
    Keempat, kota kehormatan (al-madinah al-karamah). Tujuan warga kota ini adalah  untuk meraih kehormatan, pujian, dan kesengan di antara bangsa-bangsa, untuk diistimewakan dan diperlakukan dengan penuh penghargaan, melalui kata-kata maupun perbuatan, dan untuk meraih kemuliaan serta keagungan di mata orang lain (ghairuhum) atau  diantara mereka sendiri (ba’dhuhum ‘inda ba’dhin).
    Kelima, kota despotik (al-madinah al-taghallub), yaitu kota yang warganya bertujuan untuk berkuasa atas orang lain dan mencegah agar orang lain tidak berkuasa atasnya. Motifnya tak lain adalah cinta kekuasaan. Keenam atau terakhir adalah kota demokratik (al-madinah al-jama’iyyah) yaitu kota yang penghuninya bertujuan untuk meraih kebebasan (ahraaran), dimana setiap penduduknya bebas melakukan apa yang dikehendakinya tanpa sedikitpun dikekang kehendaknya.
    Adapun kota kedua adalah al-madinah al-fasiqah yang berlawanan dengan al-madinah al-fadhilah adalah kota yang sesungguhnya memahami tentang kebahagiaan sejati, tentang Tuhan, serta tahu, terbimbing, dan terpercaya pada tindakan-tindakan yang akan membawa kepada kebahagiaan sebagaimana warga al-madinah al-fadhilah. Hanya saja mereka menolak untuk berbuat sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan mereka itu. Sebaliknya mereka malah menghendaki perbuatan seperti warga al-madinah al-jahiliyyah.[20]
    Adapun kota sesat (al-madinah al-dhalalah) adalah kota yang warganya sesungguhnya menghendaki kebahagiaan di akhirat, tetapi mereka memiliki kepercayaan yang salah mengenai hal-hal yang dapat membawa mereka kepada kebahagiaan sejati itu. Pemimpin utama mereka adalah seorang yang berpura-pura menerima wahyu dan kemudian menciptakan kesan yang salah seperti itu melalui pemalsuan, penipuan dan pengelabuan.[21]
    Dari pemaparan di atas bisa disimpulkan bahwa Al-Farabi yang kental dengan nuansa filosofisnya mencoba untuk memperkenalkan konsep madinah al-fadhilah yang mungkin terinspirasi oleh historisitas madinah al-Rasul. Dengan demikian ia menganggap bahwa etika adalah hal yang signifikan dalam pencapaian kebahagiaan sebagai tujuan akhir dari masyarakat politik. Bahkan politik ditangan al-Farabi haruslah memenuhi cita-cita transenden politik yaitu harus membawa kepada kebahagiaan yang sejati (al-sa’adah al-haqiqiyyah),[22] yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat (sa’adah al-darain), bukan semata-mata kebahagiaan di dunia yang tercermin dalam teori politik modern sebagai welfare state. Dari sini jelas bahwa politik Islam tidak memisahkan antara tujuan kehidupan yang di sini (dunia) dan kehidupan yang di sana (akhirat).

    Konsepsi Ibn Taimiyah

    Di dalam sejarah Islam Ibnu Taimiyah adalah pemikir politik pertama yang secara mendetail menjelaskan signifikansi politis yang mendalam dari perkataan amanah seperti yang dijumpai di dalam al-Qur’an. Menurut Ibnu Taimiyah amanah dipercayakan kepada seorang pemimpin melalui sumpah setia (mubaya’ah) yang diikrarkan oleh warga-warganya. Dipercayai untuk menerima amanah berarti harus bersikap adil dan memberikan kepada rakyat segala sesuatu yang menjadi hak mereka. Ketaatan kepada seorang pemimpin tergantung kepada apakah si pemimpin tersebut dapat melaksanakan kewajiban-kewajibannya, yaitu menyampaikan amanah yang diterimanya itu kepada pihak-pihak yang berhak atasnya.
    Ibnu Taimiyah menghendaki agar syari’ah merupakan kekuasaan yang tertinggi dalam sebuah pemerintahan. Itulah sebabnya mengapa karyanya yang ekslusif mengenai ilmu politik di beri judul al-Siyasah al-Syar’iyah (Pemerintahan Syari’ah), sedang bab pertama buku tersebut dimulainya dengan pernyataan: “Inilah sebuah risalah mengenai peraturan-peraturan di dalam pemerintahan Ilahi dan representasi kenabian.”[23]
    Sebagaimana pemikir politik Islam lainnya, Ibn Taimiyah menjawab pertanyaan apakah mendirikan sebuah pemerintahan adalah kewajiban agama atau kewajiban rasional, Ibnu Taimiyah menjawab bahwa mengatur urusan-urusan umat manusia adalah salah satu di antara kewajiban-kewajiban terbesar di dalam agama (min a’dzam wajibat al-din), namun hal ini tidak berarti bahwa agama tidak bisa hidup tanpa adanya negara.[24] Demikian juga kita tidak bisa melaksanakan hukum-hukum al-Qur’an tanpa adanya kekuasaan dan otoritas.[25] Sehingga dengan demikian kita melihat Ibn Taimiyah sering mengutip pribahasa bahwa penguasa adalah bayangan Allah di atas bumi (zillullah fi ard), dan ‘enam puluh tahun di bawah kekuasaan seorang imam yang lalim adalah lebih baik daripada satu malam tanpa seorang imam.[26]
    Menurut Ibnu Taimiyah, seorang imam ditentukan dari kesanggupan menjaga amanah, bahwa wilayah adalah amanah yang harus ditaruh pada tempat yang seharusnya. Rakyat adalah hamba-hamba Allah dan para penguasa adalah pembantu-pembantu Allah untuk menjaga hamba-hamba-Nya itu, dan para penguasa itu juga merupakan wakil-wakil rakyat untuk melindungi keselamatan mereka, dan di dalam diri para penguasa itulah terpadu konsep-konsep perwalian dan perwakilan (al-wilayah wa al-wikalah).[27] Singkatnya al-wilayah (pemerintahan) bagi Ibn Taimiyah berdiri di atas dua landasan pokok, yaitu kekuatan dan amanah (al-quwwah wa al-amanah).
    Dengan demikian kewajiban-kewajiban seorang imam secara obyektif ditentukan oleh fungsi-fungsi dan tujuan-tujuan syari’ah. Bahkan menurutnya setiap wilayah di dalam Islam adalah membuat agama untuk Allah semata-mata, dan untuk memenangkan kata-kata Allah yaitu “segala kepatuhan hanyalah kepada Allah saja.”[28] Inilah tujuan utama dari negara dan semua pemikiran politik Ibnu Taimiyah berkisar pada tujuan utama ini.
    Wilayah adalah sebuah amanah yang harus diarahkan imam kepada yang berhak. Amanah dan keadilan adalah dua buah pilar bagi pemerintahan yang adil dan benar.[29] Amanah berarti penyempurnaan kewajiban-kewajiban sebagaimana pernyataan Allah “Wahai orang-orang yang beriman; jangalah ingkar kepada Allah dan rasul-Nya, dan jangalah ingkari hal-hal yang diamanahkan kepadamu sedang kamu mengetahui.” (Q.S. 9:27).
    Fungsi pokok pemerintahan menurut Ibn Taimiyah ada dua macam. Pertama, pelayanannya kepada agama dan kedua pelayanannya kepada urusan-urusan dunia rakyatnya. Kemudian fungsi yang kedua ini terbagi dua: memberikan imbalan kepada orang-orang yang berhak dan menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang menggangu ketentraman.[30] Fungsi yang terakhir ini membenarkan penggunaan kekuatan efektif yang memaksa manusia untuk mematuhi hukum. Kekuatan efektif ini adalah tidak lain dari pada otoritas politik dan negara yang tercipta melalui dukungan ahli al-Syaukah.[31]
    Ibnu Taimiyah menyebut seorang imam dengan al-mutawalli al-kabir (administrator yang paling bertanggung jawab). Pengertian wilayah mencakup semua pejabat-pejabat negara –imam, menteri, gubernur, hakim, panglima angkatan bersenjata, petugas pajak, imam shalat, muazzin, guru, cendekiawan, ahli-ahli teknik dan wakil-wakil suku, kota serta desa.[32] Kualitas-kualitas mereka hanya berbeda di dalam derajatnya tetapi tidak berbeda di dalam sifatnya. 
    Perlu dijelaskan bahwa Ibnu Taimiyah tidak mempergunakan metode ijma’ seperti yang menjadi kebiasaan. Argumentasi Ibnu Taimiyah adalah bahwa agama (din) pada hakekatnya menghendaki tata sosial yang terorganisir sehingga ia dapat berfungsi sebagaimana semestinya. Menurut Ibnu Taimiyah kesejahteraan umat manusia tidak dapat diwujudkan kecuali di dalam suatu tata sosial dimana setiap orang tergantung kepada yang lainnya, dan oleh karena itu tidak bisa tidak masyarakat memerlukan seseorang untuk mengatur mereka.[33]
    Kekacauan politik dunia Islam menurut Ibn Taimiyah tidak terlepas dari rule of game dalam politik yang berupa syariah mulai diabaikan dan diselewengkan oleh para penguasa. Padahal bagi Ibn Taimiyah ada integrasi antara din, dunya dan daulah. Sehingga bagi Ibn Taimiyah dalam Siyasah al-Syar’iyyah-nya adalah untuk kembali kepada prinsip-prinsip wahyu Allah (syari’ah). Karena jika tidak ada konsfigurasi antara agama dan politik, maka sebenarnya masyarakat muslim tidak boleh tunduk pada penguasa yang seperti itu.
    Dari sinilah Ibn Taimiyah menitik beratkan konsepsinya tentang politik Islam kepada proses balancing (keseimbangan) antara kepatuhan kepada penguasa dan keharusan seorang pemimpin untuk menegakkan dua prinsip, yaitu: penegakan amanat yang datang dari Tuhan dan penegakan keadilan hukum. Hal ini tercermin dengan tulisan di awal bukunya yang dibuka dengan mengutip dua ayat dalam surat an-Nisa’: 58-59 yang artinya:
    “sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil….”
    “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya) dan ulil amri diantara kamu. Jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan rasul-Nya….”

     

    Solidaritas Kelompok Ibnu Khaldun

    Ibnu Khaldun membedakan dua macam kekuasaan atau pemerintahan. Pertama kekuasaan alamiah (mulk tabi’i) dan kedua kekuasaan politik (mulk siyasi). Yang pertama mengacu kepada kekuasaan absolut dan yang kedua mengacu kepada kekuasaan hukum (nomokrasi), baik nomokrasi religius (siyasah diniyyah) atau pun nomokrasi rasional (siyasah aqliyyah). Tipe kekuasaan yang pertama dilaksanakan untuk dunia dan akhirat, sebab pemberi hukum mengetahui kepentingan tertinggi manusia dalam hubungannya dengan keselamatan manusia di akhirat. Sedangkan tipe yang kedua dilakukan hanya untuk dunia ini saja. Siyasah diniyyah mendapat konkretisasinya dalam khilafah dan siyasah aqliyyah dalam mulk (pemerintahan monarki).
    Dalam konsepsi Ibnu Khaldun, institusi kekhalifahan pasca Khulafa Rasyidin bukanlah ikon dari pemerintahan yang islami mengingat institusi kekhalifahannya bergeser menjadi kekuasaan kerajaan yang turun temurun bukan berdasarkan atas regulasi kekuasaan yang terbuka.[34] Institusi kekhalifahan adalah sebuah intitusi yang berdasarkan nomokrasi religius yaitu sebuah institusi politik yang didasarkan atas hukum-hukum agama.
    Pembahasan Ibn Khaldun mengenai kekhalifahan dan kerajaan dalam Muqaddima dibahas oleh Muhsin Mahdi yang berjudul Ibn Khaldun’s Philosophy of History. Dengan mengutip Ibn Khaldun, ia menjelaskan bahwa dalam Islam, secara doktrinal agama semestinya tidak hanya mencurahkan perhatian terhadap urusan duniawi, menetapkan ketentuan yang memungkinkannya hidup berdampingan dengan kekuasaan raja, atau membedakan dengan jelas antara urusan ruhani dan urusan duniawi. Itu semua belum mencukupi. Agama juga harus berpolitik.[35] Ini merupakan landasan historis yang mendorong para filsuf Muslim dan Ibn Khaldun untuk menggambarkan Islam dan komunitas Islam sebagai sebuah rejim politik.
    Muhsin Mahdi menambahkan bahwa yang menjadi tema utama dari refleksi budayanya Ibn Khaldun adalah politik, bukan agama. Secara politik agama bisa menjadi sumber legitimasi sebuah rezim yang sarat dengan kepentingan manusiawinya.[36] Bagi Ibn Khaldun kekhalifahan adalah contoh rezim Qur’ani, sebuah rezim politik yang ditasbihkan melalui kalam ilahi, yang bidang garapannya adalah kebutuhan duniawi dan ukhrawi umat manusia.
    Konsepsi dalam politik Ibn Khaldun adalah meyakini bahwa Rasulullah memang memainkan peranan politik. Namun Mahdi menambahkan: “Jadi, ketika Ibn Khaldun mengatakan bahwa kekhalifahan adalah agama dan tidak ada sangkut pautnya dengan rezim kerajaan, yang dia maksudkan bukanlah bahwa kekhalifahan tidak ada kaitannya dengan politik lantaran ia memang merupakan rezim politik (siyasah), namun yang menjadi tujuannya bukanlah dunia, melainkan akhirat.[37]
    Ibn Khaldun membedakan kekhalifahan dari kerajaan dan menganggap bahwa kedudukan khalifah jauh lebih tinggi di atas raja. Namun perlu diingat bahwa keduanya sama-sama berpijak pada ashabiyyah. Dalam hal ini ia menyatakan bahwa ashabiyyah tidak hanya niscaya dalam kekuasaan politik tapi juga dalam masalah keagamaan, sebab gerakan keagamaan tidak akan mencapai tujuannya tanpa adanya semacam ashabiyyah tersebut.[38]
    Ibn Khaldun juga menganggap bahwa kekhalifahan dan kerajaan adalah bersifat kontinum, bahwa mundurnya kekhalifahan akan memunculkan kerajaan. Menurutnya, “Jelas sudah bahwa kekhalifahan pada mulanya muncul tanpa kekuasaan raja. Selanjutnya banyak ciri khas kekhalifahan yang bercampur aduk dan bertukar, dan pada akhirnya ketika ashabiyyah meluntur di lingkungan kekhalifahan, kekuasaan raja mulai muncul secara tersendiri.[39]
    Walaupun Ibnu Khaldun menegaskan bahwa kekhalifahan untuk pertama kalinya muncul tanpa raja, dia juga menyatakan bahwa proses-proses sosial yang alami itu, yang melandasi berdirinya lembaga kerajaan, selalu ada, bahkan dalam kekuasaan khalifah. Ibn Khaldun menegaskan:
    “…kekuasaan raja merupakan tujuan alami dari terbentuknya ashabiyyah. Kemunculannya berpijak pada perasaan kelompok dan bukan pada sistem pemilihan. Ia muncul karena keberadaannya merupakan kebutuhan, dan demi tertatanya kehidupan…. Semua hukum dan praktek-praktek agama…. Mensyaratkan adanya perasaan satu kelompok…. Kendati demikian, kita mendapati bahwa Nabi (sang pembuat undang-undang) mencela sikap memihak atau berat sebelah kepada satu kelompok… kita juga mendapati bahwa beliau mengecam kekuasaan kerajaan…. Manakala Muhammad melarang atau mengecam kegiatan tertentu atau mendesak untuk ditiadakan, bukan berarti bahwa beliau menghendaki dihilangkan atau dihapuskan seluruhnya.”[40]

    Ibnu Khaldun mengatakan tidak ada pertentangan tajam antara kekhalifahan dengan kerajaan, bahkan keduanya bisa hidup berdampingan.[41] Bahkan ia menegaskan bahwa “jika penguasa kerajaan ikhlas dalam menjalankan kekuasaannya terhadap rakyat atas nama Tuhan dan mengajak mereka untuk menyembah Tuhan dan memerangi musuh-musuh mereka, maka tidak ada yang perlu dikecam dalam diri penguasa semacam ini.[42]
    Dari pemaparan di atas nampak bahwa Ibn Khaldun menyediakan kerangka legitimasi kerajaan  dalam konteks layanan religiusnya. Kekuatan politik yang tidak disalurkan untuk kepentingan agamalah yang ditentang oleh Rasulullah, namun jika, seperti dikatakan Mahdi, sang raja berhasil memberdayakan agama secara politis bagi segolongan umat, maka kerajaan yang demikian pun tidak perlu dikecam.
    Ibn Khaldun menekankan bahwa syariah tidak mengecam kedaulatan (mulk) dan tidak pula melarang pelaksanaannya. Larangan ataupun kecaman syariah hanya tertuju pada ekses-ekses yang buruk yang ditimbulkan oleh  persoalan tirani dan kezaliman. Yang diinginkan oleh syariah adalah kedaulatan yang berpangkal pada persoalan keadilan, kejujuran, dan pelaksanaan tugas-tugas agama. Oleh karena itu kecaman yang timbul hanya ditujukan pada kedaulatan yang berdampak negatif saja. Apalagi syariah tidak pernah mencela kedaulatan itu sendiri, dan tidak pula menyuruh untuk menjauhinya. Sebenarnya syariah tidak memiliki kemampuan apa-apa bila tidak mendapat pertolongan dari ashabiyyah, sedangkan ashabiyyah dan kekuasaan memerlukan kedaulatan. Akhirnya, Apabila agama dan ashabiyyah ada proses resiprositas, maka peranannya untuk mendapatkan kekuasaan politik akan semakin besar, dan memiliki kontribusi besar untuk menciptakan integritas kekuatan politik.

     

    Penutup

    Orientasi politik Islam pramodern adalah bagaimana mengantarkan manusia kepada al-sa’adah al-haqiqiyyah dan menciptakan sa’adah al-darain –sebagaimana pernyataan Al-Farabi, yaitu menjadikan politik sebagai keniscayaan instrumen dalam pencapaian kebahagiaan sejati umat manusia baik di dunia dan di akhirat, sehingga visi kepemimpinan adalah harus bervisi profetis (Khalifah an-Nubuwwah) sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Mawardi, dan seorang penguasa dianggap sebagai bayangan Allah di atas bumi (zillullah fi ard) sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Taimiyah.  Oleh karena itu benar kalau Ibn Khaldun menegaskan bahwa agama juga harus berpolitik.
    Dari riset pemikiran empat tokoh di atas, seolah-olah mendukung pemikiran politik Islam pramodern adalah menganggap bahwa Islam mengandung tiga anasir sekaligus, yaitu din, dunya dan daulah. Tidak salah kemudian jika disimpulkan bahwa mereka beragama dengan kekuasaan, sebuah ungkapan yang menjadikan sikap keberagamaan (syariat) harus ditegakkan dengan politik. Wallahua’lam.


    DAFTAR PUSTAKA



    Mahdi, Muhsin, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, Chicago: 1971.

    Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Shulthaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah, Beirut: al-Maktab al-Islami, 1996.

    Musthafa Ghalib, Fi Sabili Mausu’ati Falsafiyyah al-Farabi, Beirut: Darul Maktabah al-Hilal, 1983.

    Khaldun, Ibnu, The Muqaddimah, terj. Franz Rosenthal vol. 3, edisi kedua, Princeton: Princeton University Press, 1967.

    Lerner, Ralph, & Mahdi, Muhsin (ed.) Medieval Political Philosophy, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1989.

    Syamsuddin, Din, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001

    Taimiyah, Ibnu, al-Siyasah al-Syar’iyyah, Cairo: 1951.



    [1] Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001, hal. 87.
    [2] Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Shulthaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah, Beirut: al-Maktab al-Islami, 1996, hal. 5.
    [3] Ibid.
    [4] Ibid. hal. 6.
    [5] Ibid. hal. 7.
    [6] Ibid. hal. 6.
    [7] Ibid. hal. 13.
    [8] Ibid. hal. 14.
    [9] Din Syamsuddin, Op. Cit., hal. 97.
    [10] Ibid., hal. 98.
    [11] Ibid.
    [12] Musthafa Ghalib, Fi Sabili Mausu’ati Falsafiyyah al-Farabi, Beirut: Darul Maktabah al-Hilal, 1983, hal. 105.
    [13] Ibid., hal. 105-107.
    [14] “Al-Farabi, the Political Regime” dalam Ralph Lerner & Muhsin Mahdi (ed.), Medieval Political Philosophy, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1989, hal. 36-37.
    [15] Musthafa Ghalib, Op. Cit., hal. 94.
    [16] Ibid., hal. 91. Lihat juga Ralph Lerner & Muhsin Mahdi, Op. Cit., hal. 32.
    [17] Musthafa Ghalib, Op. Cit., hal. 111.
    [18] Ibid., 112.
    [19] Ibid., hal. 112-113.
    [20] Ibid., hal. 114.
    [21] Ibid.
    [22] Ibid., hal. 91.
    [23] Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syar’iyyah, Cairo: 1951, hal 1.
    [24] Ibid. hal. 172.
    [25] Ibid. 173.
    [26] Ibid.
    [27] Ibid. hal. 11.
    [28] Ibid., hal. 24.
    [29] Ibid. hal 3.
    [30] Ibid., hal. 22.
    [31] Ibid., hal. 24.
    [32] Ibid., hal. 5.
    ., hal. 172-173.
    [34] Ibnu Khaldun, The Muqaddimah, terj. Franz Rosenthal vol. 3, edisi kedua, Princeton: Princeton University Press, 1967, hal. 414. 
    [35] Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History, (Chicago: 1971), hal. 247.
    [36] Ibid., hal. 238.
    [37] Ibid., hal. 239.
    [38] Ibnu Khaldun, Op. Cit., hal. 538.
    [39] Ibid., 428
    [40] Ibid., 414-415
    [41] Ibid., hal. 427.
    [42] Ibid., hal. 416-417
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Item Reviewed: TEMA SENTRAL POLITIK ISLAM PRAMODERN DAN BEBERAPA KECENDERUNGANNYA Rating: 5 Reviewed By: hmikomfaktek.com
    Scroll to Top