Oleh: Syaifudin Kudsi
Kalau kita melakukan mapping mind terhadap isu-isu politik Islam pramodern, maka kita akan lebih jelas mengetahui beberapa kecenderungan pemikiran pada saat itu. Yang dimaksud dengan politik pramodern adalah fase pemikiran pasca Rasulullah wafat sampai kepada fase sebelum adanya persinggungan dengan fase pemikiran politik modern Barat. Untuk itulah nama-nama seperti Al-Mawardi, Ibn Taimiyah, Ibn Khladun dan Al-Farabi bisa kita rujuk untuk mengetahui tema-tema sentral politik Islam pramodern, selain tentunya kita tidak bisa melepaskan diri dari fosil pemikiran politik skismatik sunni, syiah dan khawarij.
Kalau berbicara pemikiran politik sunni, syiah dan khawarij
kita akan menyimpulkan bahwa common
platform-nya adalah menempatkan agama (syari’ah) berada di atas kekuatan
politik, walaupun menjadi berbeda ketika ditafsirkan secara politis. Sehingga common denominator baik sunni, syi’ah
maupun khawarij adalah konsepsinya terhadap Islam sebagai agama time less, yaitu shahih untuk segala zaman, sehingga otoritas syari’ah di atas
politik menjadi mutlak. Sehingga cita-cita zaman ini adalah idealisasi agama
dalam ranah politik, baik sunni dengan konsep khilafah, ijma’ atau syuro dan bai’ah, atau pun golongan syi’ah dengan konsep imamah, wilayah dan ‘ismah-nya.
Sebagian pakar politik Islam termasuk Din Syamsudin melakukan
pembagian kecenderungan politik Islam menjadi tiga kecenderungan, pertama
juristik (fiqhiyah), administatif-birokratis
(idariyah) dan filosofis (falsafiyah).[1]
Ketiga kecenderungan ini yang menjadi mainstream pemikiran politik pramodern.
Namun tulisan ini akan lebih memfokuskan kepada pemikiran politik Al-Mawardi,
Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun dan Al-Farabi.
Konsepsi Al-Mawardi
Al-Mawardi sebagai pemikir politik Islam yang beraudiensi
dengan sunni dan syiah, menyamakan istilah khilafah
dan imamah dalam mendefinisikan
seorang pemimpin. Dia tidak mau terjebak pada perbedaan semantik an sich antara imamah versi syi’ah dan khilafah
yang merupakan trade mark sunni. Ia
menyebut seorang pemimpin (imam)
adalah khilafah an-Nubuwwah
(kepemimpinan kenabian) untuk menyelenggarakan masalah-masalah keagamaan atau
pun yang bersifat duniawi.[2]
Lebih lanjut al-Mawardi menjelaskan bahwa politik adalah sebuah keniscayaan
yang berdasarkan syari’at dan akal melalui ijma’ dari umat. Kewajiban ini
bersifat fardhu kifayah yang
dibebankan kepada dua kelompok manusia; pertama
adalah orang-orang yang mempunyai wewenang memilih khalifah bagi umat Islam,
kedua adalah orang-orang yang mempunyai kompetensi untuk memimpin negara
sehingga mereka menunjuk salah seorang dari mereka untuk memangku jabatan itu.[3]
Sedangkan syarat yang harus dipenuhi bagi seorang khalifah
menurut al-Mawardi ada tujuh kriteria. Pertama,
pemimpin itu harus adil dengan keseluruhan persyaratannya; kedua, berilmu pengetahuan sehingga mampu berijtihad dalam
kasus-kasus yang dihadapi dan ketetapan-ketetapan hukum; ketiga, memiliki kesempurnaan indra seperti pendengaran, penglihatan,
dan pembicaraan agar dengannya ia bisa melaksanakan tugasnya sendiri; keempat, tidak memiliki cacat tubuh yang
bisa menghalangi dinamika kerja dan tindakan segera; kelima, memiliki kemampuan mengagas yang dapat melahirkan strategi
kepemimpinan rakyat dan pengaturan kemaslahatan; keenam, berani dan tangguh sehingga mampu mempertahankan negara dan
melawan musuh; ketujuh atau terakhir,
nasab sang pemimpin hendaklah dari keturunan Quraisy, dan mendapatkan
kesepakatan (ijma’).[4]
Itulah idealisasi pemimpin dari Al-Mawardi yang dijadikan hujjah mayoritas umat
Islam waktu itu.
Adapun cara pengangkatan khalifah menurut al-Mawardi melalui
dua cara, pertama, dengan cara dipilih oleh kalangan ahlul-halli wal-‘aqdi dan kedua, dengan penyerahan mandat dari
khalifah sebelumnya.[5]
Adapun yang berhak memilih khalifah harus memiliki tiga persyaratan, yaitu pertama,
mereka yang memiliki kredibilitas atau
keseimbangan (al-‘adalah) dengan
keseluruhan persyaratannya. Kedua,
mereka yang memiliki ilmu pengetahuan yang membuatnya mampu mengetahui siapa
yang berhak dan pantas untuk mengemban jabatan khalifah dengan
syarat-syaratnya. Dan ketiga, mereka
yang mempunyai pendapat yang kuat dan hikmah yang membuatnya dapat memilih
siapa yang paling pantas untuk memangku jabatan kepala negara dan siapa yang
paling mampu dan pandai dalam mebuat kebijakan yang dapat mewujudkan
kemaslahatan umat.[6]
Al-Mawardi menolak pendapat yang mengatakan bahwa
pengangkatan khalifah harus melibatkan mayoritas ahlul-halli wal-‘aqdi dari seluruh negeri, karena hal demikian
tidak ada presedennya dalam sejarah suksesi kepemimpinan dalam Islam. Dengan
merujuk kepada pembaiatan Abu Bakar dan suksesi Umar yang menjadi pegangan
mayoritas fuqoha dan mutakalilimin, Al-Mawardi menyatakan
bahwa pemilih itu bisa lima orang, tiga orang, atau bahkan satu orang sudah
cukup kalau merujuk pada pembai’atan ‘Ali oleh Ibn ‘Abbas.
Hal yang terpenting dan perlu digarisbawahi pada al-Mawardi
adalah pendefinisiannya tentang khalifah
sebagai khilafah an-nubuwwah atau khilafah Rasulullah dan bukan khalifatullah sebagaimana yang
disebut-sebut oleh sebagian ulama’ dengan merujuk pada QS. Al-An’am: 165,
dimana seorang khalifah bertugas untuk menjalankan hak-hak Allah atas
hamba-hambanya.[7]
Penyebutan khalifatullah
justru menurut al-Mawardi adalah tidak boleh, karena perwakilan hanya dapat
dilakukan bagi orang yang sudah meninggal, sementara Allah adalah bersifat
abadi. Untuk menegaskan pendapatnya ini, Al-Mawardi meriwayatkan sahabat yang
memanggil Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. dengan panggilan, “Wahai khalifah Allah” Ia menjawab, “Aku bukan khalifah Allah, namun aku adalah khalifah Rasulullah saw.”
Dengan pemilihan kata kepemimpinan profetis (khalifah an-Nubuwwah) atau atau khalifah Rasulullah ini, maka menurut
al-Mawardi seorang khalifah tidak bisa memiliki kekuasaan absolut dan justru
bisa diturunkan dari jabatannya karena dua hal, yaitu kredibilitas pribadinya
rusak dan terjadi ketidaklengkapan pada anggota tubuhnya.[8]
Lebih jauh Al-Mawardi merinci tentang tugas umum Khalifah itu
menjadi sepuluh macam. Pertama,
menjaga agama agar tetap berada di atas pokok-pokoknya yang konstan dan sesuai
pemahaman yang disepakati oleh generasi salaf
umat Islam. Kedua, menjalankan hukum
bagi pihak-pihak yang bertikai dan memutuskan permusuhan antar pihak yang
berselisih, sehingga keadilan dapat dirasakan oleh semua orang. Tidak ada orang
zalim yang berani berbuat aniaya dan tidak ada orang yang dizalimi yang tidak
mampu membela dirinya.
Ketiga,
menjaga keamanan masyarakat sehingga manusia dapat hidup tenang dan bepergian
dengan aman tanpa takut mengalami penipuan dan ancaman atas diri dan hartanya. Keempat, menjalankan hukum had sehingga larangan-larangan Allah
tidak ada yang melanggarnya dan menjaga hak-hak hamba-Nya agar tidak hilang
binasa.
Kelima,
menjaga perbatasan negara dengan perangkat yang memadai dan kekuatan yang dapat
mempertahankan negara sehingga musuh-musuh negara tidak dapat menyerang negara
Islam dan tidak dapat menembus pertahanannya. Keenam, berjihad melawan pihak yang menentang Islam setelah
disampaikan dakwah kepadanya hingga ia masuk Islam atau masuk dalam jaminan
Islam atau dzimmah.
Ketujuh,
menarik fa’i dan memungut pajak
sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam secara jelas
dalam nash dan ijtihad. Kedelapan, menentukan
gaji dan besarnya ‘atha kepada rakyat
dan pihak yang mempunyai bagian dari baitul-maal,
tanpa berlebihan atau kekurangan, dan memberikannya pada waktunya.
Kesembilan,
mengangkat pejabat-pejabat yang terpercaya dan mengangkat orang-orang yang kompeten
untuk membantunya dalam menunaikan amanah dan wewenang yang ia pegang dan
mengatur harta yang berada di bawah wewenangnya. Terakhir yang kesepuluh, agar ia melakukan sendiri
inspeksi atas pekerjaan para pembantunya dan meneliti jalannya proyek sehingga
ia dapat melakukan kebijakan politik umat Islam dengan baik dan menjaga negara.
Dengan pemeparan konsepsi Al-Mawardi di atas, dan melihat
keseluruhan tulisannya dalam al-Ahkam al-Shulthaniyyah, maka menjadi jelas
bahwa state of mind Al-Mawardi tidak
hanya memberikan aksentuasi jabatan kekhalifahan sebagai jabatan yang murni
bersifat yudisial dan keagamaan, melainkan juga bersifat administratif.
Walaupun demikian, Al-Mawardi tidak bermaksud mengurangi
makna keagamaan dari kekhalifahan.[9]
Mungkin apa yang dikehendakinya tidak lebih dari pandangannya tentang bentuk
pemisahan anatara kekuasaan yang dikombinasikan dengan desentralisasi kekuasaan
politik dan administratif.[10]
Yang perlu dicermati adalah konsepsi Al-Mawardi tentang
syariah sebagai sumber justifikasi dan legitimasi realitas poltik. Al-Mawardi memasukkan
pendekatan pragmatis atas masalah-masalah politik ketika dihadapkan dengan
prinsip-prinsip keagamaan. Oleh karenanya, disebut-sebut bahwa Al-Mawardi dalam
beberapa hal dapat menunda kehancuran dinasti Sunni-Abbasiah terhadap kekuasaan
politik Syi’ah-Buwaihi.[11]
Konsepsi Al-Farabi
Al-Farabi dalam teori politiknya sangat menekankan kepada
kualifikasi seorang pemimpin. Tentang sosok seorang pemimpin (al-imam) yang diistilahkan oleh
al-Farabi dengan al-ra’is al-awwal li
al-madinah al-fadhilah, wahuwa rais al-ammah al-fadhilah, wa ra’is al-ma’murah
min al-ardh kulliha,[12]
harus memenuhi idealisasi atau kualifikasi tertentu. Setidaknya al-Farabi
menyebutkan 12 karakteristik seorang pemimpin, yang diantaranya; bijak,
berbadan kuat, bercita-cita tinggi, baik daya pemahamannya, kuat daya
hafalannya, sangat cerdas, fasih berbicara, cinta kepada ilmu, sanggup
menanggung beban dan kesulitan karenanya, tidak rakus kepada kenikmatan
jasmani, cinta kepada kejujuran, mulia jiwanya, adil dan teladan bagi semua
orang termasuk diri dan keluarganya serta pemberani.[13]
Mengingat tidak semua orang mempunyai kapasitas untuk
memimpin atau memandu orang lain dan menasihati orang lain untuk berbuat
hal-hal tertentu. Menurut al-Farabi, ada tiga kelompok orang, dari segi
kapasitas untuk memimpin, yaitu untuk memandu dan menasihati: penguasa
tertinggi atau penguasa sepenuhnya (unqualified
ruler), penguasa subordinat yang
berkuasa dan sekaligus dikuasai, dan terakhir penguasa yang dikuasai
sepenuhnya.[14]
Selain memberikan perhatian kepada konsep kepemimpinan
al-Farabi juga terkenal dengan konsep teoretis masyarakat utamanya (al-madinah al-fadhilah). Dalam hal ini
Al-Farabi menyatakan bahwa kota yang bertujuan melalui perkumpulan yang ada di
dalamnya bekerja sama dalam segala hal untuk mengejar kebahagiaan yang sejati
adalah kota utama (al-madinah al-fadhilah).
Perkumpulan yang dengannya saling bekerja sama untuk percapaian kebahagiaan
adalah perkumpulan yang utama (al-ijtima’
al-fadhilah). Dan bangsa yang terdiri dari kota-kota yang bekerja sama
untuk memperoleh kebahagiaan adalah bangsa utama (al-ummah al-fadhilah). Demikian juga dunia utama (al-ma’murah al-fadhilah) yang di
dalamnya terdapat bangsa-bangsa yang saling bekerja sama untuk mencapai
kebahagiaan.[15]
Dengan demikian, yang
dimaksud dengan al-madinah al-Fadhilah adalah
kota yang –melalui perkumpulan (bil
ijtima’) yang ada di dalamnya—bertujuan untuk bekerja sama (at-ta’awun) dalam mendapatkan
kebahagiaan yang sesungguhnya (al-sa’adah
al-haqiqiyyah).[16]
Al-Madinah al-fadhilah dikontraskan
pemahamannya dengan tiga istilah madinah lainnya, yaitu al-madinah al-jahiliyyah, al-madinah
al-fasiqah atau al-madinah
al-mubaddilah, dan al-madinah
al-dhalalah.[17]
Kota jahiliah (al-madinah
al-jahiliah) adalah kota yang warganya tidak tahu tentang kebahagiaan yang
sebenarnya. Ketika mereka ditunjukkan secara benar kepadanya, mereka tetap
tidak memahaminya, atau tidak mempercayainya. Adapun yang mereka ketahui dari
hal-hal yang baik adalah hal-hal yang secara superfisial dianggap sebagai baik
diantara apa yang dianggap sebagai tujuan-tujuan hidup, seperti kesehatan
tubuh, kemakmuran, menikmati kesenangan-kesenangan, kebebasan untuk memenuhi
nafsu, dan diperlakukan dengan penuh hormat
(mukarraman) dan kebesaran (mu’addzoman). Inilah jenis-jenis
kesenangan (sa’adah) menurut penghuni
kota jahiliah. Dan kebahagiaan terbesar
serta paling sempurna adalah (al-sa’adah
al-udzma al-kamilah) adalah jumlah total dari kesemuanya itu.[18]
Lebih jauh Al-Farabi membagi enam kota jahiliah.[19]
Pertama kota kebutuhan dasar (al-madinah al-dharuriyyah), yaitu
penghuninya bertujuan untuk menghasilkan kebutuhan dasar bagi kelangsungan
hidup dan kesehatan badan, seperti makanan, minuman, pakaian perumahan, dan
hubungan seksual.
Kedua,
kota jahat (al-madinah al-badalah),
yaitu penghuni kota ini bertujuan untuk meraih kekayaan dan kemakmuran secara
berlebih-lebihan dan di sisi lain, tidak mau membelanjakannya kecuali untuk
kebutuhan-kebutuhan badani. Ketiga,
kota rendah (al-madinah al-khassah wa
al-suquth), dimana penduduknya hanya memburu kesenangan dari makanan,
minuman dan hubungan seks. Sebagai konsekuensi, para warga kota ini
mementingkan hiburan dan hura-hura.
Keempat,
kota kehormatan (al-madinah al-karamah).
Tujuan warga kota ini adalah untuk
meraih kehormatan, pujian, dan kesengan di antara bangsa-bangsa, untuk
diistimewakan dan diperlakukan dengan penuh penghargaan, melalui kata-kata
maupun perbuatan, dan untuk meraih kemuliaan serta keagungan di mata orang lain
(ghairuhum) atau diantara mereka sendiri (ba’dhuhum ‘inda ba’dhin).
Kelima,
kota despotik (al-madinah al-taghallub),
yaitu kota yang warganya bertujuan untuk berkuasa atas orang lain dan mencegah
agar orang lain tidak berkuasa atasnya. Motifnya tak lain adalah cinta kekuasaan.
Keenam atau terakhir adalah kota
demokratik (al-madinah al-jama’iyyah)
yaitu kota yang penghuninya bertujuan untuk meraih kebebasan (ahraaran), dimana setiap penduduknya
bebas melakukan apa yang dikehendakinya tanpa sedikitpun dikekang kehendaknya.
Adapun kota kedua
adalah al-madinah al-fasiqah yang
berlawanan dengan al-madinah al-fadhilah
adalah kota yang sesungguhnya memahami tentang kebahagiaan sejati, tentang
Tuhan, serta tahu, terbimbing, dan terpercaya pada tindakan-tindakan yang akan
membawa kepada kebahagiaan sebagaimana warga al-madinah al-fadhilah. Hanya saja mereka menolak untuk berbuat
sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan mereka itu. Sebaliknya mereka malah
menghendaki perbuatan seperti warga al-madinah
al-jahiliyyah.[20]
Adapun kota sesat (al-madinah
al-dhalalah) adalah kota yang warganya sesungguhnya menghendaki kebahagiaan
di akhirat, tetapi mereka memiliki kepercayaan yang salah mengenai hal-hal yang
dapat membawa mereka kepada kebahagiaan sejati itu. Pemimpin utama mereka
adalah seorang yang berpura-pura menerima wahyu dan kemudian menciptakan kesan
yang salah seperti itu melalui pemalsuan, penipuan dan pengelabuan.[21]
Dari pemaparan di atas bisa disimpulkan bahwa Al-Farabi yang
kental dengan nuansa filosofisnya mencoba untuk memperkenalkan konsep madinah al-fadhilah yang mungkin
terinspirasi oleh historisitas madinah
al-Rasul. Dengan demikian ia menganggap bahwa etika adalah hal yang
signifikan dalam pencapaian kebahagiaan sebagai tujuan akhir dari masyarakat
politik. Bahkan politik ditangan al-Farabi haruslah memenuhi cita-cita
transenden politik yaitu harus membawa kepada kebahagiaan yang sejati (al-sa’adah al-haqiqiyyah),[22]
yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat (sa’adah al-darain), bukan semata-mata kebahagiaan di dunia yang tercermin
dalam teori politik modern sebagai welfare
state. Dari sini jelas bahwa politik Islam tidak memisahkan antara tujuan
kehidupan yang di sini (dunia) dan kehidupan yang di sana (akhirat).
Konsepsi Ibn Taimiyah
Di dalam sejarah Islam Ibnu Taimiyah adalah pemikir politik
pertama yang secara mendetail menjelaskan signifikansi politis yang mendalam
dari perkataan amanah seperti yang
dijumpai di dalam al-Qur’an. Menurut Ibnu Taimiyah amanah dipercayakan kepada seorang pemimpin melalui sumpah setia (mubaya’ah) yang diikrarkan oleh
warga-warganya. Dipercayai untuk menerima amanah berarti harus bersikap adil
dan memberikan kepada rakyat segala sesuatu yang menjadi hak mereka. Ketaatan
kepada seorang pemimpin tergantung kepada apakah si pemimpin tersebut dapat
melaksanakan kewajiban-kewajibannya, yaitu menyampaikan amanah yang diterimanya itu kepada pihak-pihak yang berhak atasnya.
Ibnu Taimiyah menghendaki agar syari’ah merupakan kekuasaan
yang tertinggi dalam sebuah pemerintahan. Itulah sebabnya mengapa karyanya yang
ekslusif mengenai ilmu politik di beri judul al-Siyasah al-Syar’iyah (Pemerintahan Syari’ah), sedang bab pertama
buku tersebut dimulainya dengan pernyataan: “Inilah sebuah risalah mengenai
peraturan-peraturan di dalam pemerintahan Ilahi dan representasi kenabian.”[23]
Sebagaimana pemikir politik Islam lainnya, Ibn Taimiyah
menjawab pertanyaan apakah mendirikan sebuah pemerintahan adalah kewajiban
agama atau kewajiban rasional, Ibnu Taimiyah menjawab bahwa mengatur
urusan-urusan umat manusia adalah salah satu di antara kewajiban-kewajiban
terbesar di dalam agama (min a’dzam
wajibat al-din), namun hal ini tidak berarti bahwa agama tidak bisa hidup
tanpa adanya negara.[24]
Demikian juga kita tidak bisa melaksanakan hukum-hukum al-Qur’an tanpa adanya
kekuasaan dan otoritas.[25]
Sehingga dengan demikian kita melihat Ibn Taimiyah sering mengutip pribahasa
bahwa penguasa adalah bayangan Allah di atas bumi (zillullah fi ard), dan ‘enam puluh tahun di bawah kekuasaan seorang
imam yang lalim adalah lebih baik daripada satu malam tanpa seorang imam.[26]
Menurut Ibnu Taimiyah, seorang imam ditentukan dari kesanggupan menjaga amanah, bahwa wilayah adalah amanah yang harus ditaruh pada tempat yang seharusnya. Rakyat
adalah hamba-hamba Allah dan para penguasa adalah pembantu-pembantu Allah untuk
menjaga hamba-hamba-Nya itu, dan para penguasa itu juga merupakan wakil-wakil
rakyat untuk melindungi keselamatan mereka, dan di dalam diri para penguasa
itulah terpadu konsep-konsep perwalian dan perwakilan (al-wilayah wa al-wikalah).[27]
Singkatnya al-wilayah (pemerintahan)
bagi Ibn Taimiyah berdiri di atas dua landasan pokok, yaitu kekuatan dan amanah
(al-quwwah wa al-amanah).
Dengan demikian kewajiban-kewajiban seorang imam secara obyektif ditentukan oleh
fungsi-fungsi dan tujuan-tujuan syari’ah. Bahkan menurutnya setiap wilayah di dalam Islam adalah membuat
agama untuk Allah semata-mata, dan untuk memenangkan kata-kata Allah yaitu
“segala kepatuhan hanyalah kepada Allah saja.”[28]
Inilah tujuan utama dari negara dan semua pemikiran politik Ibnu Taimiyah
berkisar pada tujuan utama ini.
Wilayah
adalah sebuah amanah yang harus
diarahkan imam kepada yang berhak. Amanah dan keadilan adalah dua buah pilar bagi pemerintahan yang adil dan
benar.[29]
Amanah berarti penyempurnaan kewajiban-kewajiban sebagaimana pernyataan Allah
“Wahai orang-orang yang beriman; jangalah ingkar kepada Allah dan rasul-Nya,
dan jangalah ingkari hal-hal yang diamanahkan kepadamu sedang kamu mengetahui.”
(Q.S. 9:27).
Fungsi pokok pemerintahan menurut Ibn Taimiyah ada dua macam.
Pertama, pelayanannya kepada agama dan kedua pelayanannya kepada
urusan-urusan dunia rakyatnya. Kemudian fungsi yang kedua ini terbagi dua:
memberikan imbalan kepada orang-orang yang berhak dan menjatuhkan hukuman
kepada orang-orang yang menggangu ketentraman.[30]
Fungsi yang terakhir ini membenarkan penggunaan kekuatan efektif yang memaksa
manusia untuk mematuhi hukum. Kekuatan efektif ini adalah tidak lain dari pada
otoritas politik dan negara yang tercipta melalui dukungan ahli al-Syaukah.[31]
Ibnu Taimiyah menyebut seorang imam dengan al-mutawalli
al-kabir (administrator yang paling bertanggung jawab). Pengertian wilayah mencakup semua pejabat-pejabat
negara –imam, menteri, gubernur, hakim, panglima angkatan bersenjata, petugas
pajak, imam shalat, muazzin, guru, cendekiawan, ahli-ahli teknik dan
wakil-wakil suku, kota serta desa.[32]
Kualitas-kualitas mereka hanya berbeda di dalam derajatnya tetapi tidak berbeda
di dalam sifatnya.
Perlu dijelaskan bahwa Ibnu Taimiyah tidak mempergunakan
metode ijma’ seperti yang menjadi kebiasaan. Argumentasi Ibnu Taimiyah adalah
bahwa agama (din) pada hakekatnya
menghendaki tata sosial yang terorganisir sehingga ia dapat berfungsi
sebagaimana semestinya. Menurut Ibnu Taimiyah kesejahteraan umat manusia tidak
dapat diwujudkan kecuali di dalam suatu tata sosial dimana setiap orang
tergantung kepada yang lainnya, dan oleh karena itu tidak bisa tidak masyarakat
memerlukan seseorang untuk mengatur mereka.[33]
Kekacauan politik dunia Islam menurut Ibn Taimiyah tidak
terlepas dari rule of game dalam
politik yang berupa syariah mulai diabaikan dan diselewengkan oleh para
penguasa. Padahal bagi Ibn Taimiyah ada integrasi antara din, dunya dan daulah. Sehingga bagi Ibn Taimiyah dalam
Siyasah al-Syar’iyyah-nya adalah
untuk kembali kepada prinsip-prinsip wahyu Allah (syari’ah). Karena jika tidak ada konsfigurasi antara agama dan
politik, maka sebenarnya masyarakat muslim tidak boleh tunduk pada penguasa
yang seperti itu.
Dari sinilah Ibn Taimiyah menitik beratkan konsepsinya
tentang politik Islam kepada proses balancing
(keseimbangan) antara kepatuhan kepada penguasa dan keharusan seorang pemimpin
untuk menegakkan dua prinsip, yaitu: penegakan amanat yang datang dari Tuhan
dan penegakan keadilan hukum. Hal ini tercermin dengan tulisan di awal bukunya
yang dibuka dengan mengutip dua ayat dalam surat an-Nisa’: 58-59 yang artinya:
“sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil….”
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah
Rasul (Nya) dan ulil amri diantara kamu. Jika kalian berbeda pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan rasul-Nya….”
Solidaritas Kelompok Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun membedakan dua macam kekuasaan atau
pemerintahan. Pertama kekuasaan alamiah (mulk
tabi’i) dan kedua kekuasaan politik (mulk
siyasi). Yang pertama mengacu kepada kekuasaan absolut dan yang kedua
mengacu kepada kekuasaan hukum (nomokrasi), baik nomokrasi religius (siyasah diniyyah) atau pun nomokrasi
rasional (siyasah aqliyyah). Tipe
kekuasaan yang pertama dilaksanakan untuk dunia dan akhirat, sebab pemberi
hukum mengetahui kepentingan tertinggi manusia dalam hubungannya dengan
keselamatan manusia di akhirat. Sedangkan tipe yang kedua dilakukan hanya untuk
dunia ini saja. Siyasah diniyyah
mendapat konkretisasinya dalam khilafah
dan siyasah aqliyyah dalam mulk (pemerintahan monarki).
Dalam konsepsi Ibnu Khaldun, institusi kekhalifahan pasca
Khulafa Rasyidin bukanlah ikon dari pemerintahan yang islami mengingat
institusi kekhalifahannya bergeser menjadi kekuasaan kerajaan yang turun
temurun bukan berdasarkan atas regulasi kekuasaan yang terbuka.[34]
Institusi kekhalifahan adalah sebuah intitusi yang berdasarkan nomokrasi
religius yaitu sebuah institusi politik yang didasarkan atas hukum-hukum agama.
Pembahasan Ibn Khaldun mengenai kekhalifahan dan kerajaan
dalam Muqaddima dibahas oleh Muhsin
Mahdi yang berjudul Ibn Khaldun’s
Philosophy of History. Dengan mengutip Ibn Khaldun, ia menjelaskan bahwa
dalam Islam, secara doktrinal agama semestinya tidak hanya mencurahkan
perhatian terhadap urusan duniawi, menetapkan ketentuan yang memungkinkannya
hidup berdampingan dengan kekuasaan raja, atau membedakan dengan jelas antara
urusan ruhani dan urusan duniawi. Itu semua belum mencukupi. Agama juga harus
berpolitik.[35]
Ini merupakan landasan historis yang mendorong para filsuf Muslim dan Ibn
Khaldun untuk menggambarkan Islam dan komunitas Islam sebagai sebuah rejim
politik.
Muhsin Mahdi menambahkan bahwa yang menjadi tema utama dari
refleksi budayanya Ibn Khaldun adalah politik, bukan agama. Secara politik
agama bisa menjadi sumber legitimasi sebuah rezim yang sarat dengan kepentingan
manusiawinya.[36]
Bagi Ibn Khaldun kekhalifahan adalah contoh rezim Qur’ani, sebuah rezim politik
yang ditasbihkan melalui kalam ilahi, yang bidang garapannya adalah kebutuhan
duniawi dan ukhrawi umat manusia.
Konsepsi dalam politik Ibn Khaldun adalah meyakini bahwa
Rasulullah memang memainkan peranan politik. Namun Mahdi menambahkan: “Jadi,
ketika Ibn Khaldun mengatakan bahwa kekhalifahan adalah agama dan tidak ada
sangkut pautnya dengan rezim kerajaan, yang dia maksudkan bukanlah bahwa
kekhalifahan tidak ada kaitannya dengan politik lantaran ia memang merupakan
rezim politik (siyasah), namun yang
menjadi tujuannya bukanlah dunia, melainkan akhirat.[37]
Ibn Khaldun membedakan kekhalifahan dari kerajaan dan
menganggap bahwa kedudukan khalifah jauh lebih tinggi di atas raja. Namun perlu
diingat bahwa keduanya sama-sama berpijak pada ashabiyyah. Dalam hal ini ia menyatakan bahwa ashabiyyah tidak hanya niscaya dalam kekuasaan politik tapi juga
dalam masalah keagamaan, sebab gerakan keagamaan tidak akan mencapai tujuannya
tanpa adanya semacam ashabiyyah tersebut.[38]
Ibn Khaldun juga menganggap bahwa kekhalifahan dan kerajaan
adalah bersifat kontinum, bahwa mundurnya kekhalifahan akan memunculkan
kerajaan. Menurutnya, “Jelas sudah bahwa kekhalifahan pada mulanya muncul tanpa
kekuasaan raja. Selanjutnya banyak ciri khas kekhalifahan yang bercampur aduk
dan bertukar, dan pada akhirnya ketika ashabiyyah
meluntur di lingkungan kekhalifahan, kekuasaan raja mulai muncul secara
tersendiri.[39]
Walaupun Ibnu Khaldun menegaskan bahwa kekhalifahan untuk
pertama kalinya muncul tanpa raja, dia juga menyatakan bahwa proses-proses
sosial yang alami itu, yang melandasi berdirinya lembaga kerajaan, selalu ada,
bahkan dalam kekuasaan khalifah. Ibn Khaldun menegaskan:
“…kekuasaan raja merupakan tujuan alami dari terbentuknya
ashabiyyah. Kemunculannya berpijak pada perasaan kelompok dan bukan pada sistem
pemilihan. Ia muncul karena keberadaannya merupakan kebutuhan, dan demi
tertatanya kehidupan…. Semua hukum dan praktek-praktek agama…. Mensyaratkan
adanya perasaan satu kelompok…. Kendati demikian, kita mendapati bahwa Nabi
(sang pembuat undang-undang) mencela sikap memihak atau berat sebelah kepada
satu kelompok… kita juga mendapati bahwa beliau mengecam kekuasaan kerajaan….
Manakala Muhammad melarang atau mengecam kegiatan tertentu atau mendesak untuk
ditiadakan, bukan berarti bahwa beliau menghendaki dihilangkan atau dihapuskan
seluruhnya.”[40]
Ibnu Khaldun mengatakan tidak ada pertentangan tajam antara
kekhalifahan dengan kerajaan, bahkan keduanya bisa hidup berdampingan.[41]
Bahkan ia menegaskan bahwa “jika penguasa kerajaan ikhlas dalam menjalankan
kekuasaannya terhadap rakyat atas nama Tuhan dan mengajak mereka untuk
menyembah Tuhan dan memerangi musuh-musuh mereka, maka tidak ada yang perlu
dikecam dalam diri penguasa semacam ini.[42]
Dari pemaparan di atas nampak bahwa Ibn Khaldun menyediakan
kerangka legitimasi kerajaan dalam
konteks layanan religiusnya. Kekuatan politik yang tidak disalurkan untuk
kepentingan agamalah yang ditentang oleh Rasulullah, namun jika, seperti
dikatakan Mahdi, sang raja berhasil memberdayakan agama secara politis bagi
segolongan umat, maka kerajaan yang demikian pun tidak perlu dikecam.
Ibn Khaldun menekankan bahwa syariah tidak mengecam
kedaulatan (mulk) dan tidak pula
melarang pelaksanaannya. Larangan ataupun kecaman syariah hanya tertuju pada
ekses-ekses yang buruk yang ditimbulkan oleh
persoalan tirani dan kezaliman. Yang diinginkan oleh syariah adalah
kedaulatan yang berpangkal pada persoalan keadilan, kejujuran, dan pelaksanaan
tugas-tugas agama. Oleh karena itu kecaman yang timbul hanya ditujukan pada
kedaulatan yang berdampak negatif saja. Apalagi syariah tidak pernah mencela
kedaulatan itu sendiri, dan tidak pula menyuruh untuk menjauhinya. Sebenarnya
syariah tidak memiliki kemampuan apa-apa bila tidak mendapat pertolongan dari ashabiyyah, sedangkan ashabiyyah dan kekuasaan memerlukan
kedaulatan. Akhirnya, Apabila agama dan ashabiyyah
ada proses resiprositas, maka peranannya untuk mendapatkan kekuasaan politik
akan semakin besar, dan memiliki kontribusi besar untuk menciptakan integritas
kekuatan politik.
Penutup
Orientasi
politik Islam pramodern adalah bagaimana mengantarkan manusia kepada al-sa’adah al-haqiqiyyah dan menciptakan
sa’adah al-darain –sebagaimana
pernyataan Al-Farabi, yaitu menjadikan politik sebagai keniscayaan instrumen
dalam pencapaian kebahagiaan sejati umat manusia baik di dunia dan di akhirat,
sehingga visi kepemimpinan adalah harus bervisi profetis (Khalifah an-Nubuwwah) sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Mawardi,
dan seorang penguasa dianggap sebagai bayangan Allah di atas bumi (zillullah fi ard) sebagaimana yang
ditegaskan oleh Ibn Taimiyah. Oleh
karena itu benar kalau Ibn Khaldun menegaskan bahwa agama juga harus
berpolitik.
Dari riset
pemikiran empat tokoh di atas, seolah-olah mendukung pemikiran politik Islam
pramodern adalah menganggap bahwa Islam mengandung tiga anasir sekaligus, yaitu
din, dunya dan daulah. Tidak
salah kemudian jika disimpulkan bahwa mereka beragama dengan kekuasaan, sebuah
ungkapan yang menjadikan sikap keberagamaan (syariat) harus ditegakkan dengan
politik. Wallahua’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Mahdi, Muhsin, Ibn Khaldun’s Philosophy of History,
Chicago: 1971.
Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Shulthaniyyah wa al-Wilayah
al-Diniyyah, Beirut: al-Maktab al-Islami, 1996.
Musthafa Ghalib, Fi Sabili Mausu’ati Falsafiyyah al-Farabi,
Beirut: Darul Maktabah al-Hilal, 1983.
Khaldun, Ibnu, The Muqaddimah, terj. Franz Rosenthal
vol. 3, edisi kedua, Princeton: Princeton University Press, 1967.
Lerner, Ralph,
& Mahdi, Muhsin (ed.) Medieval Political Philosophy, Cornell
University Press, Ithaca, New York, 1989.
Syamsuddin, Din, Islam dan Politik Era Orde Baru,
Jakarta: Logos, 2001
Taimiyah, Ibnu, al-Siyasah al-Syar’iyyah, Cairo: 1951.
[1] Din Syamsuddin, Islam dan
Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001, hal. 87.
[2] Al-Mawardi, Al-Ahkam
al-Shulthaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah, Beirut: al-Maktab al-Islami,
1996, hal. 5.
[3] Ibid.
[4] Ibid. hal. 6.
[5] Ibid. hal. 7.
[6] Ibid. hal. 6.
[7] Ibid. hal. 13.
[8] Ibid. hal. 14.
[9] Din Syamsuddin, Op. Cit.,
hal. 97.
[10] Ibid., hal. 98.
[11] Ibid.
[12] Musthafa Ghalib, Fi Sabili
Mausu’ati Falsafiyyah al-Farabi, Beirut: Darul Maktabah al-Hilal, 1983,
hal. 105.
[13] Ibid., hal. 105-107.
[14] “Al-Farabi, the Political Regime” dalam Ralph Lerner & Muhsin
Mahdi (ed.), Medieval Political
Philosophy, Cornell University Press, Ithaca, New York, 1989, hal. 36-37.
[15] Musthafa Ghalib, Op. Cit.,
hal. 94.
[16] Ibid., hal. 91. Lihat
juga Ralph Lerner & Muhsin Mahdi, Op. Cit., hal. 32.
[17] Musthafa Ghalib, Op. Cit.,
hal. 111.
[18] Ibid., 112.
[19] Ibid., hal. 112-113.
[20] Ibid., hal. 114.
[21] Ibid.
[22] Ibid., hal. 91.
[23] Ibnu Taimiyah, al-Siyasah
al-Syar’iyyah, Cairo: 1951, hal 1.
[24] Ibid. hal. 172.
[25] Ibid. 173.
[26] Ibid.
[27] Ibid. hal. 11.
[28] Ibid., hal. 24.
[29] Ibid. hal 3.
[30] Ibid., hal. 22.
[31] Ibid., hal. 24.
[32] Ibid., hal. 5.
[34] Ibnu Khaldun, The Muqaddimah,
terj. Franz Rosenthal vol. 3, edisi kedua, Princeton: Princeton University
Press, 1967, hal. 414.
[35] Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s
Philosophy of History, (Chicago: 1971), hal. 247.
[36] Ibid., hal. 238.
[37] Ibid., hal. 239.
[38] Ibnu Khaldun, Op. Cit., hal. 538.
[39] Ibid., 428
[40] Ibid., 414-415
[41] Ibid., hal. 427.
[42] Ibid., hal. 416-417
0 komentar:
Posting Komentar