Mengawali tulisan ini, agaknya perlu
dilontarkan sebuah pertanyaan dekonstruktif: Mengapa harus ada gerakan syariat
Islam? Ini dipertanyakan karena dalam terma “gerakan” ada sejumlah kata dan ide
yang menyelubungi kata “gerakan” tersebut. Selubung itu mesti disibak dan
kemudian dibongkar supaya tersaksikan secara nyata dan jernih. Pertanyaan
berikutnya, kata-kata dan ide apakah yang menyelubungi di balik kata “gerakan”
tersebut? Kita bisa menjawabnya: pertama, jika termanya Gerakan Syariat
Islam (GSI), berarti ada (maujud) sebuah cita-cita untuk bersyariatkan
Islam. Kedua, cita-cita bersyariatkan Islam ini belum tercapai, karena
itu dibutuhkan gerakan untuk mencapai cita-cita itu. Ketiga, biasanya
sebuah gerakan lahir, selalu ada anasir yang menghalangi tujuan gerakan
tersebut. Dalam kasus GSI di Indonesia, jelas sekali tersaksikan ada (maujud)
anasir yang menghalangi cita-cita tersebut. Saya kira secara sederhana
ketiga faktor di ataslah yang menjadi refresentasi dalil mengapa ada GSI di
Indonesia.
*
* *
GSI adalah wacana sosial politik
khas dunia ketiga yang berbasis massa Muslim pasca kolonial. Kolonialisme yang
terjadi di dunia ketiga dioperasikan oleh seperangkat kuasa politik, ekonomi,
hukum, ideologi dan budaya penjajah (kolonialis). Kuasa inilah—ideologi, hukum,
politik, ekonomi dan budaya—yang menjamin kekalnya penjajahan yang sistematis.
Ketika negeri-negeri jajahan itu ingin memerdekakan diri, timbullah persoalan
baru yang mesti dijawab sendiri. Karena kemerdekaan bukan hanya artinya merdeka
secara administratif, politik dan ekonomi, tetapi juga menyangkut merdeka
secara kultural dan hukum, maka pada tataran ini muncullah perbedaan pendapat
di kalangan pejuang dan pemikir kemerdekaan: Hukum apakah (yang kita butuhkan)
setelah kemerdekaan; budaya apakah (yang kita perlukan) sesudah kita merdeka?
Itulah kira-kira pertanyaan sentral ketika itu.
“Legenda”
anyar tentang perdebatan “hukum apakah setelah kemerdekaan” adalah perdebatan
Natsir dan Soekarno. Begitu juga tentang perdebatan budaya, kita kenal salah
satu tokohnya Sutan Takdir Alisyahbana, pengagum budaya kolonial, di mana
perdebatan itu bisa ditemukan dalam buku “Polemik Kebudayaan.” Pada akhirnya
terjadilah dua blok. Blok yang menginginkan syariat Islam menjadi hukum publik,
yang oleh Endang Saifuddin Anshari diberi istilah dengan Nasionalis Islam, dan
blok yang tidak menginginkan syariat Islam menjadi hukum publik (Nasionalis
Sekuler). Kedua-duanya sama-sama mempunyai raison d’etre yang dapat
dimengerti dan dipertanggung jawabkan secara rasional. Marilah kita kutip
pendapat juru bicara masing-masing blok tersebut berikut ini, sekedar untuk
memahami logika masing-masing kelompok yang berdebat itu. Natsir mengatakan:
Kenapakah
tidak diambil dasar yang bisa mengikat p.l.m
[plus minus, kurang lebih] 85% dari penduduk Indonesia ini; kenapakah
ikatan itu disingkirkan lantaran mengharapkan sokongan dari sebagian yang kecil
yang bukan beragama Islam? Apakah yang lebih logis dan lebih adil lagi, dari
pada memanggil orang Islam yang sekarang ada dalam pergerakan yang berdasar
kebangsaan itu supaya mereka berdasar kepada Islam dalam perjuangan mereka?
(Deliar Noor; 1991, h. 298).
Soekarno
menjawab:
…
bagaimanakah Tuan mengerjakan Tuan punya ideal di negeri yang Tuan mau adakan
demokrasi di situ dan di mana penduduk sebagian tidak beragama Islam,
sepertinya Turki, India, Indonesia, di mana milyunan orang beragama Kristen
atau agama lain, dan di mana kaum intelektuil umumnya tidak berfikir Islamistis.
Andainya, andainya Tuan menjadi pemerintah negeri yang
banyak orang bukan Islam, apakah Tuan mau tetapkan saja bahwa staat harus staat
Islam, grondwet [:konstitusi] harus grondwet Islam, semua hukum-hukum harus
hukum-hukum syari’at Islam? Kalau kaum-kaum yang beragama Kristen atau agama
lain tidak mau terima, bagaimanakah? Kalau kaum-kaum intelektuil tidak mau
terima, bagaimanakah? Tuan apakah mau paksa saja kepada mereka, dengan
menghantam Tuan punya tinju di atas meja, bahwa mereka musti ditundukkan kepada
kemauan Tuan itu? Ai, Tuan mau main diktator, mau paksa mereka dengan senjata
bedil dan meriam? Kalau mereka tidak mau tunduk pula, bagaimana? Tuan tokh
tidak mau basmi mati mereka itu habis-habisan secindel abangannya, karena zaman
sekarang adalah zaman modern, dan bukan zaman basmi-basmian secara dulu! (Ibid.,
307)
* * *
Hingga tanggal 22 Juni 1945
ketegangan kedua pendapat itu dapat terselesaikan dengan sebuah kompromi.
Kompromi itu terkenal dengan istilah Piagam Jakarta yang salah satu point
pentingnya: Ketuhanan, dengan menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya. Tetapi tidak lama setelah itu, pada tanggal 18 Agustus
1945, kesepakatan yang telah dicapai dengan susah payah itu, dengan rela hati
pihak Islam (Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Teuku Muhammad Hasan,
dan Wahid Hasyim menurut “riwayat” Hatta) menerima untuk dicoret ke
tujuh kata itu. Alamsyah (mantan Menteri Agama) mengomentari tentang hal ini.
“Inilah pengorbanan umat Islam untuk bangsa Indonesia.”
Sejak itu muncullah ketidakpuasan
dan kekecewaan di kalangan umat Islam. Dalam kalangan umat Islam sendiri,
terpecah pendapat dalam mencapai cita-cita pemberlakuan syariat Islam ini
sesudah kemerdekaan. Ada yang menempuh jalan demokrasi—meminjam istilah Deliar
Noor—yakni cara-cara perjuangan parlementer seperti Masyumi, dan ada juga yang
menempuh cara-cara ekstra parlementer, seperti DI/TII, yang oleh penguasa
ketika itu disebut sebagai pemberontak. Semua gerakan itu pada intinya bermuara
kepada tuntutan lama, dijalankannya syariat Islam, minimal bagi
pemeluk-pemeluknya saja. Karena bagi mereka, syariat Islam adalah titipan Allah
yang tidak bisa ditawar lagi untuk tidak dijalankan. Itu alasan teologisnya.
Sedangkan alasan historis-sosiologis, sebelum Indonesia maujud, syariat
Islam telah lama survive di tengah-tengah dinamika masyarakat.
Ternyata tuntutan itu tidak pernah
tercapai, hatta (hingga) sesudah kemerdekaan seperti yang pernah
dijanjikan oleh Soekarno pada tanggal 18 Agustus 1945 bahwa pemberlakuan
syari’at Islam bisa dibicarakan lagi sesudah revolusi. Bahkan sampai hari ini.
Maka kita tidak perlu terkejut, jika hari ini kita menyaksikan di daerah-daerah
berbasis massa Islam, tuntutan lama itu kembali mencuat ke permukaan. Dari
Aceh—Aceh telah berhasil memperoleh hak sejarahnya itu dengan disahkannya
Undang-undang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan akan menjadi model bagi
daerah-daerah lainnya—,Sulawesi Selatan, Padang, Banten dan sebagainya.
Yang menarik untuk dicatat juga, di
masa reformasi ini tumbuh gerakan-gerakan Islam yang terorganisir dengan rapi,
menuntut dijalankannya syariat Islam di negeri ini. Sekedar contoh, Front
Pembela Islam (FPI) yang bernuansa polisional dan Laskar Jihad yang berwarna
militer. Ini pun sesungguhnya bukan fenomena baru yang perlu
diherankan. Jauh sebelumnya, DI/TII telah melakukan hal itu sebagai reaksi
terhadap tidak dijalankannya syariat Islam di negeri yang mayoritas beragama
Islam ini. Hanya persoalan DI/TII, tentu saja lebih kompleks dari
organisasi-organisasi yang disebut di atas. Ke depan kita
bisa membaca, GSI akan tetap kekal, selama syariat Islam tidak dijadikan
sebagai hukum di negeri ini, minimal bagi pemeluk-pemeluknya yang beragama
Islam. Apalagi ditambah munculnya opini publik, ternyata hukum modern yang
diadopsi dari hukum peninggalan Belanda untuk tanah jajahannya itu, tidak lagi
berwibawa memberantas kriminalitas yang terjadi di masyarakat. Persoalan ini
akan menambah keyakinan orang Islam untuk tidak lagi menunggu lebih lama
kembali ke syariat Islam.
Oleh: Syahrul ED
0 komentar:
Posting Komentar