• Latest News

    Kamis, 09 November 2017

    GERAKAN SYARIAT ISLAM DI INDONESIA KONTEMPORER



                Mengawali tulisan ini, agaknya perlu dilontarkan sebuah pertanyaan dekonstruktif: Mengapa harus ada gerakan syariat Islam? Ini dipertanyakan karena dalam terma “gerakan” ada sejumlah kata dan ide yang menyelubungi kata “gerakan” tersebut. Selubung itu mesti disibak dan kemudian dibongkar supaya tersaksikan secara nyata dan jernih. Pertanyaan berikutnya, kata-kata dan ide apakah yang menyelubungi di balik kata “gerakan” tersebut? Kita bisa menjawabnya: pertama, jika termanya Gerakan Syariat Islam (GSI), berarti ada (maujud) sebuah cita-cita untuk bersyariatkan Islam. Kedua, cita-cita bersyariatkan Islam ini belum tercapai, karena itu dibutuhkan gerakan untuk mencapai cita-cita itu. Ketiga, biasanya sebuah gerakan lahir, selalu ada anasir yang menghalangi tujuan gerakan tersebut. Dalam kasus GSI di Indonesia, jelas sekali tersaksikan ada (maujud) anasir yang menghalangi cita-cita tersebut. Saya kira secara sederhana ketiga faktor di ataslah yang menjadi refresentasi dalil mengapa ada GSI di Indonesia.
    *  *  *
                GSI adalah wacana sosial politik khas dunia ketiga yang berbasis massa Muslim pasca kolonial. Kolonialisme yang terjadi di dunia ketiga dioperasikan oleh seperangkat kuasa politik, ekonomi, hukum, ideologi dan budaya penjajah (kolonialis). Kuasa inilah—ideologi, hukum, politik, ekonomi dan budaya—yang menjamin kekalnya penjajahan yang sistematis. Ketika negeri-negeri jajahan itu ingin memerdekakan diri, timbullah persoalan baru yang mesti dijawab sendiri. Karena kemerdekaan bukan hanya artinya merdeka secara administratif, politik dan ekonomi, tetapi juga menyangkut merdeka secara kultural dan hukum, maka pada tataran ini muncullah perbedaan pendapat di kalangan pejuang dan pemikir kemerdekaan: Hukum apakah (yang kita butuhkan) setelah kemerdekaan; budaya apakah (yang kita perlukan) sesudah kita merdeka? Itulah kira-kira pertanyaan sentral ketika itu.
    “Legenda” anyar tentang perdebatan “hukum apakah setelah kemerdekaan” adalah perdebatan Natsir dan Soekarno. Begitu juga tentang perdebatan budaya, kita kenal salah satu tokohnya Sutan Takdir Alisyahbana, pengagum budaya kolonial, di mana perdebatan itu bisa ditemukan dalam buku “Polemik Kebudayaan.” Pada akhirnya terjadilah dua blok. Blok yang menginginkan syariat Islam menjadi hukum publik, yang oleh Endang Saifuddin Anshari diberi istilah dengan Nasionalis Islam, dan blok yang tidak menginginkan syariat Islam menjadi hukum publik (Nasionalis Sekuler). Kedua-duanya sama-sama mempunyai raison d’etre yang dapat dimengerti dan dipertanggung jawabkan secara rasional. Marilah kita kutip pendapat juru bicara masing-masing blok tersebut berikut ini, sekedar untuk memahami logika masing-masing kelompok yang berdebat itu. Natsir mengatakan:
    Kenapakah tidak diambil dasar yang bisa mengikat p.l.m [plus minus, kurang lebih] 85% dari penduduk Indonesia ini; kenapakah ikatan itu disingkirkan lantaran mengharapkan sokongan dari sebagian yang kecil yang bukan beragama Islam? Apakah yang lebih logis dan lebih adil lagi, dari pada memanggil orang Islam yang sekarang ada dalam pergerakan yang berdasar kebangsaan itu supaya mereka berdasar kepada Islam dalam perjuangan mereka? (Deliar Noor; 1991, h. 298).

    Soekarno menjawab:

    … bagaimanakah Tuan mengerjakan Tuan punya ideal di negeri yang Tuan mau adakan demokrasi di situ dan di mana penduduk sebagian tidak beragama Islam, sepertinya Turki, India, Indonesia, di mana milyunan orang beragama Kristen atau agama lain, dan di mana kaum intelektuil umumnya tidak berfikir Islamistis.
    Andainya, andainya Tuan menjadi pemerintah negeri yang banyak orang bukan Islam, apakah Tuan mau tetapkan saja bahwa staat harus staat Islam, grondwet [:konstitusi] harus grondwet Islam, semua hukum-hukum harus hukum-hukum syari’at Islam? Kalau kaum-kaum yang beragama Kristen atau agama lain tidak mau terima, bagaimanakah? Kalau kaum-kaum intelektuil tidak mau terima, bagaimanakah? Tuan apakah mau paksa saja kepada mereka, dengan menghantam Tuan punya tinju di atas meja, bahwa mereka musti ditundukkan kepada kemauan Tuan itu? Ai, Tuan mau main diktator, mau paksa mereka dengan senjata bedil dan meriam? Kalau mereka tidak mau tunduk pula, bagaimana? Tuan tokh tidak mau basmi mati mereka itu habis-habisan secindel abangannya, karena zaman sekarang adalah zaman modern, dan bukan zaman basmi-basmian secara dulu! (Ibid., 307)

    *  *  *

                Hingga tanggal 22 Juni 1945 ketegangan kedua pendapat itu dapat terselesaikan dengan sebuah kompromi. Kompromi itu terkenal dengan istilah Piagam Jakarta yang salah satu point pentingnya: Ketuhanan, dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tetapi tidak lama setelah itu, pada tanggal 18 Agustus 1945, kesepakatan yang telah dicapai dengan susah payah itu, dengan rela hati pihak Islam (Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Teuku Muhammad Hasan, dan Wahid Hasyim menurut “riwayat” Hatta) menerima untuk dicoret ke tujuh kata itu. Alamsyah (mantan Menteri Agama) mengomentari tentang hal ini. “Inilah pengorbanan umat Islam untuk bangsa Indonesia.”
                Sejak itu muncullah ketidakpuasan dan kekecewaan di kalangan umat Islam. Dalam kalangan umat Islam sendiri, terpecah pendapat dalam mencapai cita-cita pemberlakuan syariat Islam ini sesudah kemerdekaan. Ada yang menempuh jalan demokrasi—meminjam istilah Deliar Noor—yakni cara-cara perjuangan parlementer seperti Masyumi, dan ada juga yang menempuh cara-cara ekstra parlementer, seperti DI/TII, yang oleh penguasa ketika itu disebut sebagai pemberontak. Semua gerakan itu pada intinya bermuara kepada tuntutan lama, dijalankannya syariat Islam, minimal bagi pemeluk-pemeluknya saja. Karena bagi mereka, syariat Islam adalah titipan Allah yang tidak bisa ditawar lagi untuk tidak dijalankan. Itu alasan teologisnya. Sedangkan alasan historis-sosiologis, sebelum Indonesia maujud, syariat Islam telah lama survive di tengah-tengah dinamika masyarakat.
                Ternyata tuntutan itu tidak pernah tercapai, hatta (hingga) sesudah kemerdekaan seperti yang pernah dijanjikan oleh Soekarno pada tanggal 18 Agustus 1945 bahwa pemberlakuan syari’at Islam bisa dibicarakan lagi sesudah revolusi. Bahkan sampai hari ini. Maka kita tidak perlu terkejut, jika hari ini kita menyaksikan di daerah-daerah berbasis massa Islam, tuntutan lama itu kembali mencuat ke permukaan. Dari Aceh—Aceh telah berhasil memperoleh hak sejarahnya itu dengan disahkannya Undang-undang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan akan menjadi model bagi daerah-daerah lainnya—,Sulawesi Selatan, Padang, Banten dan sebagainya.
                Yang menarik untuk dicatat juga, di masa reformasi ini tumbuh gerakan-gerakan Islam yang terorganisir dengan rapi, menuntut dijalankannya syariat Islam di negeri ini. Sekedar contoh, Front Pembela Islam (FPI) yang bernuansa polisional dan Laskar Jihad yang berwarna militer. Ini pun sesungguhnya bukan fenomena baru yang perlu diherankan. Jauh sebelumnya, DI/TII telah melakukan hal itu sebagai reaksi terhadap tidak dijalankannya syariat Islam di negeri yang mayoritas beragama Islam ini. Hanya persoalan DI/TII, tentu saja lebih kompleks dari organisasi-organisasi yang disebut di atas. Ke depan kita bisa membaca, GSI akan tetap kekal, selama syariat Islam tidak dijadikan sebagai hukum di negeri ini, minimal bagi pemeluk-pemeluknya yang beragama Islam. Apalagi ditambah munculnya opini publik, ternyata hukum modern yang diadopsi dari hukum peninggalan Belanda untuk tanah jajahannya itu, tidak lagi berwibawa memberantas kriminalitas yang terjadi di masyarakat. Persoalan ini akan menambah keyakinan orang Islam untuk tidak lagi menunggu lebih lama kembali ke syariat Islam.
    Oleh: Syahrul ED
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Item Reviewed: GERAKAN SYARIAT ISLAM DI INDONESIA KONTEMPORER Rating: 5 Reviewed By: hmikomfaktek.com
    Scroll to Top