Agama sebagai realitas sosio-historis sejak ribuan tahun lalu telah membuktikan dirinya memiliki kekuatan-visi transformatif (libido sosial) yang sangat dahsyat, agama mampu mendorong pemeluknya untuk memandang realitas dunia sebagai entitas yang senantiasa diobyektifikasi, diproyeksi, dan disikapi, menurut visi teologis agama itu sendiri, namun dalam sejarahnya kemudian gugusan gagasan yang visioner, mengerakkan serta membebaskan dari agama-agama mengalami distorsi secara signifikan akibat perseteruan dan kepentingan politik kaum elit yang terdiri dari borjuasi kaum agamawan, termasuk dengan agama Islam, catatan-catatan buram dan berdarah-darah merupakan wasiat purba yang senantiasa melekat dalam memori sejarah-sosiologis umat Islam, masih terekam bagaimana penegasian antara aliran fikih yang satu dengan lainnya, antara mazhab Sunni dengan mazhab Syiah (meski dengan melakukan pembunuhan), belum lagi potensi konflik klasik antara Islam, Yahudi dan Nasrani, perseteruan itu semakin meluas dan terinternalisasi didalam kesadaran umat Islam yang paling sublim, karena dikokohkan melalui legitimasi kekuasaan, friksi internal umat Islam sungguh banyak menyita energi dan waktu, sehingga lalai melakukan pembacaan atau kontekstualisasi terhadap teks sosial zaman yang melaju demikian cepat, faktor ini menjadi salah satu point penyebab runtuhnya rumah peradaban Islam, padahal disatu sisi sejak bangsa Eropa sukses meruntuhkan keangkuhan feodalisme dan otoritarianisme gereja dan menuju-menjemput zaman “Enlightenment” (pencerahan) yang selanjutnya dikenal sebagai zaman reneissance Eropa dan sekaligus awal mula lonceng sekulerisasi modern didentangkan, mereka sedang berpacu dengan modernitas yang ditopang dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lambat-laun bangsa Barat tumbuh dan berkembang menjadi kiblat peradaban dunia hingga saat ini, terlepas metode penancapan pilar-pilar rumah peradaban Barat melahirkan luka kemanusiaan dan ekologis yang menganga parah.
Kemajuan peradaban Barat disatu sisi dan keruntuhan peradaban Islam disisi lain, berhasil membangun kesadaran baru bagi umat Islam dalam melakukan revitalisasi dan reinterpretasi doktrinal termasuk teologi tentunya, doktrin (teologi) dianggap menjadi faktor utama terbelenggunya umat Islam dalam kejumudan dan keterbelakangan, terlebih setelah futurulog John Naisbitt dan Patricia Aburdene didalam bukunya Megatrends 2000 memprediksikan bahwa millineum ke-tiga merupakan abad kebangkitan agama-agama atau spiritualitas, confidence umat Islam makin terpacu setelah keberhasilan revolusi Islam Iran yang dipimpin Imam Khomeini menumbangkan rezim despotik Syah Reza Pahlevi dukungan Amerika Serikat tahun 1979, fakta-fakta diatas makin menegaskan bahwa agama dapat dijadikan sebagai jargon atau media pembebasan terhadap segala bentuk penindasan, sejak saat itu teologi pembebasan, khususnya Islam menjadi mainstream dalam diskursus kaum intelektual, agama memang memiliki watak ganda, disamping berfungsi sebagai media pembebasan juga dapat diselewengkan menjadi alat penindasan sebagaimana persepsi Karl Marx yang menegaskan bahwa agama adalah candu yang meninabobokan proggresifitas dan semangat pembebasan masyarakat seperti yang terjadi dibanyak negara termasuk Indonesia tentunya.
Teologi pembebasan awalnya muncul dikalangan Kristen di Amerika Latin yang dipelopori oleh Gustavo Guiterez (A Theology of Liberation, 1971) dan Segundo Galilea (1979), yang merupakan refleksi kritis atas praksis Kristiani dalam terang sabda untuk mempromosikan evengelisasi-kabar gembira (Sosialisme Religius, Suatu Jalan Keempat ?, 2000) sedangkan teologi pembebasan Islam dipromosikan antara lain oleh Mohammad Arkoun, Muhammad Abed Al Jabiri, Fazlur Rahman, Hasan Hanafi dan Ali Ashgar Enggineer, dan merupakan gagasan pembebasan yang bersumber dari doktrin Islam, satu perspektif yang mencoba melakukan rekonstruksi bahkan dekonstruksi terhadap doktrin agama yang an sich metafisis-filosofis bergerak menjadi lebih praksis-sosial (orto-filosofis ke orto-praksis), dari membela Tuhan menjadi membela manusia walaupun kadang pergeseran yang terjadi lebih ekstrem ketitik praksis-sosiologis sehingga meminggirkan bahkan meniadakan batas-batas transendental doktrin Islam, artinya proses elaborasi dekonstruktif yang dilakukan untuk membangun muatan nilai agama yang berwajah transformatif-mengerakkan, sering teralienasi atau tercerabut dari akar value sacra-nya (dimensi transenden), sehingga muatan pembebasannya dan realitas bentukannya mirip untuk tidak mengatakan sama dengan muatan dan bangunan realitas yang dilatari oleh semangat pembebasan sekularisme Barat yang bebas nilai, menurut Cak-Nur sekularisasi keber-agama-an tetap dibutuhkan untuk mendorong dan menciptakan “ruang bebas” bagi umat Islam untuk melakukan kontekstualisasi doktrin agamanya sesuai dengan semangat zaman (zeitgeist), bukan sekularisme yang menghalalkan kebebasan tanpa batas dan meniadakan akar moralitas (bebas nilai), gagasan sekularisasi Cak-Nur ini banyak disalah tafsirkan baik oleh kalangan Islam moderat (liberal), terlebih kelompok Islam ortodoks yang pernah menghalalkan darah Cak-Nur. Terlepas dari itu, hakikat teologi pembebasan sebenarnya dimaksudkan untuk memvitalisasi atau mereaktualisasi visi profetis dari agama itu sendiri, yang akibat telikung politik menyebabkan sisi suci-profetis agama menjadi buram, terdegradasi, a-humanistik bahkan menjadi alat penindasan manusia. Agama sebagai doktrin pembebasan meniscayakan kepada manusia untuk melakukan pembacaan secara paripurna terhadap suatu doktrin agama, sebab manusia merupakan subyek sekaligus obyek keber-agama-an (simbol hermeneutik), bukankah sering kali kita saksikan baik secara implisit maupun eksplisit distorsi semangat pembebasan suatu agama diakibatkan kesalahan manusia membaca spirit pembebasan agamanya, untuk itu pembacaan agama yang an sich teosentris (manusia untuk agama) digeser secara seimbang (proporsional) menjadi antroposentris (agama untuk manusia), pembacaan agama yang antroposentris menurut Essack akan membawa dua implikasi. Pertama, pembacaan yang selaras dengan misi dan kepentingan umat manusia secara keseluruhan. Kedua, pembacaan harus dibentuk oleh pengalaman dan aspirasi umat manusia secara menyeluruh. Namun manusia sebagai kunci hermeneutik memunculkan perdebatan pada ranah teologi klasik, yaitu problem menyangkut the value of mankind sebagai pengukuran kebenaran dan persoalan kepemilikan otentisitas pembacaan terhadap agama, dalam sejarah teologi Islam, hal ini merupakan problem yang krusial, dan hingga sekarang masih terus diperdebatkan bahkan dipertentangkan dalam jagat diskursus para intelektual Islam, namun menurut Masdar Hilmi, orang atau kelompok yang merasa paling sah menafsirkan doktrin agamanya, maka orang atau kelompok tersebut telah melakukan perzinahan hermeneutik (promiscuity hermeneutical), dengan demikian untuk menangkap spirit pembebasan agama, pembacaan realitas teks agama niscaya harus sesuai dengan takaran nilai-nilai kemanusiaan yang dibingkai dalam kerangka tauhid atau pengesaan Tuhan, perspektif ini mirip dengan gagasan Hans Kung yang mengatakan kebenaran suatu agama ditentukan sejauhmana suatu ajaran agama memuat semangat universalisme kemanusiaan.
Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah nubuwwah ibrahimik terakhir merupakan cermin atau obor pembebasan umat manusia dari ketertindasan dan keterbelakangan, menurut Ali Ashgar Enggineer yang membedah risalah pembebasan kenabian Muhammad dengan pisau analisa sosio-ekonomis, mengemukakan tiga bentuk pembebasan yang dilakukan Muhammad SAW. yaitu Pertama, pembebasan sosio-kultural. Kedua, keadilan ekonomi dan Ketiga, sikap Islam terhadap agama lain, ketiga bentuk pembebasan tersebut jika dipadatkan akan menjadi sebuah konsepsi teologi pembebasan praksis-sosio-transenden, suatu kompilasi gagasan yang mendorong, mengembangkan dan mengerakkan penciptaan tata sosial yang berkesejahteraan secara ekonomis dan spiritualitas dalam cakrawala semesta egaliterianitas dan pluralitas sesama umat manusia tanpa disekat oleh perbedaan ideologi, suku, ras, agama dan status sosial.
0 komentar:
Posting Komentar