Membongkar arti hidup satu persatu telah menjadi kegiatan mainstream
yang dilakukan oleh setiap manusia yang telah mengetahui posisi hidupnya
di dunia, bongkar pasang jati diri telah menjadi mekanis dari
behavioral approach kekinian disatu sisi menjamah rana mainstreamnya dan
sisilain menolak kekinian dengan alasan jati diri.
Begitupun aku, aku dalam arti tulisan ini ialah seorang manusia
kacangan yang terpaksa menggunakan otaknya secara berlebihan, disebut
proposional namun enggan menjawab. Ia pernah berfikir tentang suatu
definisi bahwa bumi ini ialah sebuah ilusi semata, pancaran dari wujud
lain yang sama persis menyerupai, ala dunia sophie yang yang membuat
orang seakan-akan lebih bijak lima menit kemudian setelah membaca dan
kembali lagi seperti semula satu jam berikutnya.
Ia juga pernah memikirkan tentang sebuah perdaban dari era tikam
menikam, manusia menjadi serigala bagi sesamanya sampai kepada era
saling fitnah di didunia dunia maya(ilusi didalam ilusi) sempitnya ia
mengartikan seperti itu.
Si aku takhayal seperti manusia lazim abad ini yang mencoba
untuk hidup layaknya teks aksiologi, kontruksi yang ia bangun sendiri
untuk menghadapi fenomena kekinian yang dianggapnya sebagai kecelakaan
berfikir manusia,baju yang dulu dibuat senyaman dan sesopan mungkin kini
dibentuk agar terlihat lebih menarik, menurutnya menarik untuk
diperkosa dengan sadar dari kedua subjek.
Ia kadang prihatin melihat panorama pemerkosaan sambil tertawa-tawa,
menurut si aku bahwa hal tersebut sebuah kausalitas tindakan, berfikir
dengan aksiloginya si aku terkadang diam sebagai kaum terpelajar,
sedikit kutipan yang pernah ia baca dalam goresan mas Pram “wahai kaum
terpelajar apa yang telah kau berikan untuk kehidupan ini?”
ia hanya diam dan berkomentar sambil menyesali ulasan kalimat
tersebut, sambil berkata “seharusnya aku tak membaca kalimat pada bagian
ini”. Cambukan lewat kalimat meyakinkannya bahwa dunia ini tak
seutuhnya fatamorgana, sampai pada Tuhan yang nantinya akan membuktikan
dengan judul kiamat.
Sinergi yang terus ia upayakan dari dunia buku terhadap realitas
kembali ia paparkan dalam bentuk tulisan ia menilai tak ada yang sia-sia
walaupun itu hanya sebatas tulisan, verba volland scripta manent
begitulah pembelaannya dari pada tidak melakukan apapun.
Hirarki permasalahan pun melulu ia pikirkan, masalah sosial tingkat
elite yang bernama korupsi sampai kekelas yang paling bawah dengan nama
busung lapar, namun menurutnya manusia yang tak mengalami hal yang
berjudul busung lapar masih mampu melakukan tindakan hedon di Negara
yang dijejali dengan beribu masalah, menalaah bidang sosial membuatnya
semakin menangis dalam tulisan, sudah tidak perlu kita mengandalkan
pemerintah,
negeri ini diciptakan untuk orang-orang yang sadar saja, orang-orang
yang mampu membersihkan judul-judul yang membuat sakit hati, mata, dan
fikiran. Korupsi bagaikan sebuah potensi untuk menunjukan eksistensi
dalam kreativitas, berkreasi dalam bidang ini selain menguntungkan
kemudian terkenal, sesat berfikir apalagi yang terjadi di Negeri ini.
Si aku pada akhirnya hanya menangis, bagai orang yang bergelimang
dosa ia mengangkat kedua tangan dan memohon ampun kepada Sang Kausa
Prima, seraya iya berkata dalam doanya “Kapan orang-orang baik akan
berkumpul untuk diberi kesempatan ya Tuhan”, berkali-kali ia mengucapkan
kata-kata itu.
Namun korelasi ikhtiar dan berdoa ialah sabar, ia berdiri dan
tertunnduk seraya berkata “tak ada yang sia-sia” ternyata Tuhan belum
mencemooh usahanya, Tuhan masih memberikan ia kesempatan lagi dan lagi
dalam bentuk nafas dan akal kemudia hati sebagai filter dari tiap
tindakannya.
Si Aku kembali melanjutkan perjuangan dan usahanya, kata menyerah dan
bingung tak lagi pernah terlintas dalam tiap judul pergerakannya,
memang kita tidak akan mampu menghentikan hujan, namun hujan takan mampu
menghentikan semangat kita, begitulah ucapannya disetiap sela-sela
kajian sebelum aksi.
oleh : Adam Alfian
(Kader HMI Pamulang)
0 komentar:
Posting Komentar