Konstitusi Dalam Tinjauan Sejarah
Oleh : Ahmad Priatna (Kader HMI
Pamulang )
Sejak
zaman yunani purba istilah konstitusi telah dikenal, hanya konstitusi itu masih
diartikan materil, karena konstitusi itu belum diletakan dalam suatu naskah
yang tertulis. Ini dapat dibuktikan dalam faham Aristoteles yang membedakan
istilah pollitea dan nomoi. Politea diartikan sebagai konstitusi, sedangkan
nomoi adalah Undang-undang biasa. Di antara kedua istilah tersebut terdapat
perbedaan yaitu bahwa politea mengandung kekuasaan yang lebih tinggi dari pada
nomoi, karena politea mempunyai kekuasaan membentuk sedangkan pada nomoi
kekuasaan itu tidak ada, karena ini merupakan materi yang harus dibentuk agar
supaya tidak bercerai-berai.
Dalam kebudayaan yunani istilah
konstitusi itu berhubungan erat dengan ucapan Resblica constituere. Dari
sebutan ini lahirlah semboyan yang berbunyi “Prinsep Legibus Sootus est, Salus
Publica Suprema Lex”, yang artinya Rajalah yang berhak menentukan
organisasi/struktur dari pada negara, oleh karena ia adalah satu-satunya
pembuat Undang-undang.
Pada abad pertengahan sudah dikenal
orang tentang konstitusi, tetapi dengan sebutan lain. Dalam abad menengah
timbul suatu aliran yang disebut monarchomachen, yaitu suatu aliran yang
membenci kekuasaan raja yang mutlak. Untuk memcegah agar raja tidak berbuat
sewenang-wenang maka golongan ini menghendaki suatu perjanjian dengan raja.
Aliran ini terutama terdiri dari golongan Calvinis yang menuntut pertanggung
jawaban raja dan jika perlu raja bisa dipecat dan dibunuh.
Perjanjian antara rakyat dengan raja
dalam kedudukan masing-masing yang sama tinggi dan sama rendah menghasilkan
suatu naskah yang disebut “Leges Fundamentalis”. Dalam Leges Fundamentalis ini
ditetapkan hak dan kewajiban masing-masing fihak. Dari sini nampak lambat laun
dalam perkembangan sejarah, bahwa perjanjian-perjanjia antara rakyat dan fihak
yang memerintah mulai dinaskahkan. Adapun tujuannya untuk memudahkan para fihak
dalam menuntut haknya masing-masing, serta mengingatkan mereka pada kewajiban
yang harus diakukan dan yang paing penting ialah orang tidak melupakannya,
karena pejanjian itu di tulis.
Sering dalam buku pelajaran dan
anggapan umum bahwa pengertian konstitusi sama dengan Undang-undang Dasar.
Pendapat ini adaah keliru, sebab pengertian konstitusi adalah jauh lebih luas
dari Undang-undang Dasar. Pengertian tersebut di atas oleh Herman Heller dalam
bukunya Verfassunglehre (ajaran
tentang konstitusi). Ia membagi konstitusi itu dalam tiga tingkat yaitu:
1.
Konstitusi
sebagai pengertian sosial poitik
Pada pengertian yang pertama ini
konstitusi belum merupakan pengertian hukum, ia baru mencerminkan keadaan
sosial politik suatu bangsa itu sendiri. Di sini pengertian hukum adalah
sekunder, yang primer adalah bangunan-bangunan masyrakat atau political decission. Bangunan-bangunan ini
adalah keputusan masyarakat sendiri, misalnya siapa yang menjadi kepala suku,
pembantu, dan sebagainya.
2.
Konstitusi
sebagai pengertian hukum (refhtsfervassung)
Pada pengertian yang kedua ini,
keputusan-keputusan masyarakat tadi dijadikan suatu perumusan yang normatif,
yang kemudian harus beraku (gehoren).
Pengertian politik diartikan sebagai eine seine yaitu suatu kenyataan yang
harus berlaku dan diberikan suatu sanksi kalau hal tersebut dilanggar. Dalam
hal ini kita bisa mengambil contoh pada tingkat pertama seperti yang telah
dikemukakan di atas misalnya sifat tukar-menukar dalam perdagangan kemudian di
jadikan jual beli, sewa-menyewa. Dalam bentuk yang kedua ini kemudian
mengandung pengertian-pengertian hukum (rechtsfervassung).
Rechtsfervassung ini ini tidak selalu
tertulis, misalnya hukum adat. Di sini kita melihat apa yang disebut abstraksi
(kontruksi), yaitu suatu cara dalam ilmu pengetahuan hukum untuk menarik
unsur-unsur hukum dari kenyataan sosial yang kemudian yang kemudian di jadikan
perumusan-perumusan hukum.
3.
Konstitusi
sebagai suatu peraturan hukum
Pengertian yang ketiga ini, adalah
suatu peraturan hukum yang tertulis. Dengan demikian Undang-undang dasar adalah
salah satu bagian dari konstitusi dan bukan sebagai penyamaan pengertian
menurut anggapan-anggapan sebelumnya. Penyamaan pengertian adalah pendapat yang
keliru, dan apabila ada penyamaan pengertian maka ini adalah akibat pengaruh
dari aliran kodifikasi (aliran modern).
Adapun bentuk-bentuk konstitusi Menurut
Prof. K.C Wheare, bentuk dari konstitusi dapat dibagi dua, yaitu: Tertulis dan
Tidak tertuis.
1.
Konstitusi Tertulis adalah konstitusi yang diletakkan
dalam suatu naskah tertentu. Ada beberapa keuntungan konstitusi, yaitu :
·
Organisasi Negara itu dapat terjamin, dalam arti tidak
berubah sewaktu-waktu jadi tidak tunduk kepada kehendak orang tertentu.
·
Adanya pedoman tertentu untuk perkembangan lebih
lanjud. Misalnya pada suautu pasal atau bab, sehingga prkambangan biasa
dikembalikan pada norma tertentu.
2.
Konstitusi Tidak Tertulis, adalah konstitusi yang tidak
diletakkan dalam suatu naskah tertentu. Namun ada pula beberapa kelemahan tidak
adanya naskah (konstitusi tidak tertulis). Misalnya dalam menentukan siapa yang
berwenang menentukan bahwa kebiasaan yang baru dalam masyarakat yang merupakan
hokum yang baru. Karena tidak adanya naskah tertentu, bagaimana kita dapat
mengetahui adanya keadaan yang baru yang bertentangan dengan naskah itu. Di inggris
hal ini dipecahkan dalam memberi wewenang pada parlemen yang disebut
omnipotence, yaitu wewenang tertinggi disegala hal pada parlemen.
Adanya sifat-sifat Fleksibel
dan Rigid adalah sifat dari
Konstitusi, yang dalam bahasa indonesia dapat di terjemahkan dengan luwes dan
kaku. Fleksibel ataupun Rigidnya suatu suatu konstitusi tergantung tiga
hal, yaitu:
1.
Mudah
atau tidak mudah diubah
2.
Mudah
dan tidak dalam menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat
3.
Tergantung
kekuatan yang nyata, yang ada dalam masyarakat
Adapun
konstitusi di lihat fungsinya, maka
Konstitusi dapat dibagi dua yaitu:
1. Membagi
kekuasaan dalam negara
2. Membatasi
kekuasaan pemerintah atau penguasa dalam negara
Bagi
mereka yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan menganggap sebagai
organisasi kekuasaan maka konstitusi dapat dipandang sebagai lembaga atau
kumpulan asas yang menetapkan bagaimana kekuasaan dibagi di antara beberapa
lembaga kenegaraan, misalnya antara badan legislatif, badan eksekutif, dan
badan yudikatif. Konstitusi menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat
kekuasaan itu bekerja sama dan menyesuaikan diri satu sama lain serta merekam
hubungan-hubungan kekuasaan dalam negara.
Referensi:
1.Ilmu Negara (M.Kusnaedi & Prof. Bintan
R. Sargih, MA)
2.Hukum Tata Negara Indonesia (M.Kusnardi, SH
& Harmaili Ibrahim, SH)
3.Pendidikan Pancasila (Dr. Kaelan MS)
0 komentar:
Posting Komentar