Redupya Generasi Perubahan |
Ruang publik kita belakangan
ini tumbuh dengan pergunjingan seputar Pilkada serentak dan calon kepala daerah
ditiap masing-masing. Seolah-olah, tak ada yang lebih penting dan lebih
bernilai di Republik ini secara umum dan daerah secara khususnya, kecuali
menjadi seorang kepala daerah. Benarkah transformasi daerah ke arah yang lebih
baik bisa dilakukan hanya dengan memilih seseorang kepala daerah?
Kharisma dan kebaikan
seseorang bisa membawa perubahan besar dalam politik, transformasi suatu
masyarakat lebih dari sekadar kebaikan pribadi. Ada begitu banyak orang baik
yang terjun ke gelanggang politik, dan membentuk partai politik dan berhasil
duduk di lembaga legistlatif, eksekutif maupun yudikatif. Tetapi, di dalam
proses belajar kolektif dan institusi kolektif yang buruk, kumpulan orang-orang
baik itu bukan mewarnai keadaan, tetapi malahan dilumat keadaan.
Dengan demikian, yang
diperlukan bukan sekadar kualitas kebaikan perseorangan, tapi juga kemampuan
politik untuk menginvestasikan kebaikan/kharisma perseorangan ini kedalam
kebaikan/kharisma institusi dengan mempertautkan diri ke dalam suatu entitas
kolektif yang secara koheren dan serempak membentuk generasi transformatif yang
bergerak kompak memperjuangkan agenda bersama.
Generasi yang saya maksud
adalah bukan kesamaan dalam rentang usia, pertentangan masyarakat ataupun
pemberontakan masyarakat, melainkan oleh kesamaan pengalaman historis. Sejalan
dengan apa yang dinyatakan oleh Ron Eyerman, “Konsepsi sosiologis mengenai generasi
mengimplikasikan lebih dari sekadar terlahir pada masa yang hampir sama.
Konsepsi itu menyatakan sebuah kesamaan pengalaman sehingga menciptakan sebuah
dasar bagi cara pandang yang sama, orientasi tujuan yang sama, sehingga bisa
mempersatukan para pelaku, bahkan meskipun mereka tak pernah saling bertemu...
dan terutama sekali jika seseorang memiliki karakteristik-karakteristik yang
sama dengan yang lain, seperti kesamaan dalam latar belakang sosial dan juga
tata nilai”.
Dalam pandangan Karl Manheim, sebuah generasi
membentuk identitas kolektifnya dari sekumpulan pengalaman yang sama, yang
melahirkan “sebuah identitas dalam cara-cara merespons dan rasa keterikatan
tertentu dalam suatu cara dimana semua anggotanya bergerak dengan dan terbentuk
oleh kesamaan pengalaman-pengalaman mereka”.
Distorsi-distorsi saat ini
belum menemukan “budaya tanding” dari generasi perubahan yang mampu
mempertautkan kekuatan atau kerumunan itu ke dalam suatu blok historis.
Konsepsi “blok historis” ini lahir dari pemahaman Gramsci bahwa momen politik
dalam proses pembentukan kehendak kolektif bisa dipecah menjadi tiga tahap.
Momen pertama dan yang
paling primitif disebut sebagai tahap “koorporatif ekonomis”. Pada tahap ini,
para anggota dari kategori yang sama menunjukan rasa solidaritas tertentu
terhadap satu sama lain, tetapi tidak terhadap mereka yang termasuk dalam
kategori-kategori yang lain, meski dalam satu kelas. Momen yang kedua ialah
momen ketika semua anggota dari sebuah kelas sosial memiliki solidaritas
kepentingan-kepentingan yang sama, tetapi masih semata-mata dalam medan
ekonomi.
Momen ketiga, yang disebut
Gramsci sebagai fase yang sepenuhnya politik, menandai berlangsungnya
transendensi melampaui batas-batas korporasi kelas yang semata-mata bersifat
ekonomis, serta terbentuknya sebuah koalisi yang lebih luas yang menjangkau
kepentingan-kepentingan kelompok lain yang juga sama-sama mengalami
keprihatinan. Momen ini juga menandai suatu lintasan pergerakan yang menentukan
dari ranah struktur menuju ranah suprastruktur yang kompleks.
Gramsci menggunakan istilah
blok historis untuk melukiskan kesatuan struktur dan suprastruktur yang
pertautan ide dan nilainya dianut bersama oleh sejumlah sektor sosial ke dalam
suatu generasi perubahan dibawah kepemimpinan moral-intelektual.
Sekuat apapun kebaikan
perseorangan tak akan membawa perubahan besar dalam suatu masyarakat yang
ditandai oleh hilangnya generasi perubahan. Oleh karena itu, para kaum muda
harus berhenti latah mengikuti genderang nyanyian kemapanan yang terus menerus
menggunjingkan seputar calon kepala daerah. Lebih baik mengambil inisiatif
untuk mengajak berbagai elemen untuk duduk bersama, membincangkan agenda
bersama, lantas membangun jaringan konektivitas gugus aktivis lintas daerah
untuk membentuk generasi transformasi yang mengembang agenda bersama.
oleh: Fahatul Azmi
apakah ini revolusi generasi?
BalasHapus@romlie: memang yg di maksud dg istilah generasi, tp saya lebih cenderung menamakan nya dg ruang penyadaran. Sbg contoh, ben anderson dalam Imagine Comunity mengatakab bahwa nasionalisme indonesia tumbuh ketika banyak poster2 kemerdekaan terpasang dijalan. Penyadaran ketika itu lewat visual, tp dg hari ini, penyadaran mencoba dituangkan dg cara kesamaan historis
BalasHapus